SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #7

Kain Keranda

Pedusunan Awan, Desa Sumberpitu, Pasuruan, bersembunyi di balik selimut mencekam. Semenjak hawa panas meluluh lantakkan meja, kursi, terop, hingga membuat si Mbok kesurupan, dusun yang terpancang di daerah perbukitan tinggi ini senyap.

Malam tak rupa malam. Hawa ngilu mengelupasi ari-ari kulit. Tidak ada bunyi cengkerama penyebul rokok di pos kamling ujung jalan. Tidak pula gesekan sandal melintas depan rumah. Tidak ada laki-laki bertamu hingga larut, walau sekadar menyesap kopi. Semua gara-gara peristiwa seram ketika Didin sunatan itu.

Selepas terop digondol angin, para sinoman berpamitan pulang. Atas himbauan Pak Moelyono, sang dukun penangkis gangguan itu, acara buwuhan dan pagelaran tandak pun dibuyarkan. Nelangsa, sungguh nelangsa diriku.

Suasana desa masih menggigilkan ketakutan. Apalagi, perang santet menyantet semakin santer sejak kemarin-kemarin. Mak Sukayah, sang juragan pisang, baru saja tidak ada umurnya. Perutnya mengembung. Duburnya memuncrat bau anyir warna kuning. Kulitnya melepuh biru. Bola matanya menonjol mau lepas. Mulutnya menyembur muntahan menjijikkan. Lalu, tewaslah Mak Sukayah secara menggenaskan.

Kini, aku menghabiskan kegelapan hanya berdua bersama anakku. “Oala, Le. Si Mbok kok nggak pulang-pulang? Apa dia nginep di rumahnya Yuk Kartini, yah?” gumamku. Didin kupangku. Ia terpulas dalam hangatnya pelukan.

Pintu dan jendela kugrendel rapat-rapat. Damar di ruang tamu menyala redup. Satu lagi pelita di bilik tengah, setengah murup, menciptakan sekotak ruang menjingga terkena pancaran cahayanya.

Krik! Krik! Krik!

Lagu jangkrik menggerowot kesunyian. Geru semak dan ranting bernada khas. Dari kejauhan, gerisik gesek bambu, ikut bergabung layaknya pertunjukan musik belantara. Angin berjoget lihai melingkari rumah. Semilirnya sebagian melubangi dinding kayu rumahku ini.

Pandanganku sayup-sayup. Gigil tubuh menari ringan. Setarik selimut, kubalutkan menutupi ujung kaki nyaris batang hidungku. Cuaca seadem begini, nyaman digunakan memejam. Namun, rasa merinding kian menggerumiti tulang belakangku. Beberapa kali aku mengawasi pintu yang selambunya gerak-gerik sendiri.

Makin bergetar saja bulu kudukku. Kurabahi leher. Memang betul, seolah mengisyaratkan akan datangnya sesuatu.

Lihat selengkapnya