Lukisan biru membentang, meluas gagahnya dari ufuk timur hingga ke ufuk barat, seakan tidak ada tepiannya. Kini, aku masih menanti nasi kebuli matang. Si Mbok mengelap lembar per lembar daun pisang sebagai wadah nasi kendurennya nanti.
Dari rumah sebelah, merasuk riuh keramaian. Sepertinya, wadon kaya itu bersiap menyambut datangnya si Sulastri dengan acara tasyakuran. Begitu pula diriku menyiapkan nasi kebuli. Kalau-kalau, Kang Yanto memang betul akan kembali setelah sekian lamanya pergi. Walaupun belum ada isyarat pasti akan kepulangannya, yah paling tidak, kerasak-kerusuk kepulangan si Sulastri, adalah tanda, bahwa Kang Yanto juga akan ikut kembali.
Lima tahun lalu, suamiku pergi bersama Sulastri ke Arab Saudi. Sulastri memang hebat. Sebagai bidan, sampai-sampai ia dimintai bantuan orang Arab berpraktik di sana. Kebetulan, Kang Yanto seorang tukang bangunan. Di sana tengah butuh banyak kuli untuk membangun rumah sakit. Suamiku lebih memilih tawaran dari si bidan muda itu. Apalagi, keahlian tukang bangunan di desa, saat itu masih tidak banyak dibutuhkan. Warga desa jarang menegakkan rumah bertembok. Kalau sekadar dinding berkayu, masyarakat akan saling bahu membahu.
Apalah kata, kularang juga tidaklah mungkin. Sebuah pagi dini, matahari baru melahirkan cahaya hangatnya, pria berkulit putih bertubuh tinggi itu menyangking sekoper besar. Masuk ke mikrolet bersama si perempuan belia menuju kota Surabaya. Selanjutnya, mereka terbang ke langit tinggi. Menghilang bagai perkutut kabur, dan entah akan hinggap di mana.
***
Dari jalan depan, geru mesin berbunyi kasar. “Kang Yanto, Nduk! Kang Yanto bojomu, Nduk!” teriak si Mbok mengagetkan.
Kakiku setengah berlari menghampiri. Tetangga berbondong-bondong membuntuti montor11 gede itu datang.
“Bojomu, Nduk! Bojomu!”12 seru si Mbok kembali gegap gempita.
Maju ke pinggir jalan. Kuawasi teliti pintu kendaraan mewah itu. Dadaku bergoncang badai. Gugup. Ya Allah, akhirnya aku akan bertemu kembali dengan suamiku yang sekian lamanya berpisah.
Bu Saidah terlihat menyabet gagang pintu montor itu tanpa menaruh pandangan seupil pun ke arah kami yang berjarak hanya tiga meter darinya.
Pintu berkaca gelap ia derit perlahan. Sulastri? batinku tertakjub. Sulastri? Benarkah itu Sulastri? Setengah pangling. Bidan desa itu tampak berjilbab anggun. Baju kurung warna hitam bermodel bunga-bunga. Wajahnya tampak bening. Ia menginjakkan sepatu jinjitnya ke tanah dengan pijakan penuh kehati-hatian.
Langsung, ibunya menyambut hangat. Direngkuh tubuhnya. Pipinya dikelilingi ciuman penuh kasih sayang. Bak seorang putri raja dituntun memasuki istana megah. Di altar, sudah bersiap sanak kerabat yang datang dari Malang, menyambut dengan pesta suka cita.