Setabur mawar, segenggam sedap malam, beberapa biji kenanga, dan sehambur putik melati, kuaduk perlahan bersama tarian jernih yang kugayut dari sumber air Terincing.
“Las, air kembang ini berguna membangkitkan jiwamu. Kekuatan batinmu insya Allah akan lebih kokoh. Harumnya akan membuatmu merasakan kedamaian. Sehingga, Insya Allah dirimu akan lebih sigap menghadapi cobaan demi cobaan yang terus mengujimu itu,” pituah Pak Moelyono, tetua yang sudah kuanggap bapakku sendiri.
Air ketenangan beliau doakan. Si Mbok dan Budhe Wati, ikut mengiringiku menuju tepian aliran. Sehingga, bukan hanya kami berdua di tengah pekatnya alas, melainkan berempat. Beramai-ramai.
Bernama alas Mbulu. Tengah-tengahnya, menghampar rerumputan hijau yang sedap dipandang. Ada juga lapangan untuk bermain bola. Di tepi timur, terpancang sebuah pohon tua. Konon, pohon itu sudah mengakar sejak berabad-abad lamanya.
Sekeliling lapangan, bertelekan batang-batang pinus dengan kucuran getahnya masing-masing di tiap pangkalnya. Sisi utara, sebuah jurang membentang dalam. Kisahnya, tidak ada orang yang berani melihat dasarnya karena saking dalamnya. Barang siapa yang berani melihatnya, niscaya orang itu akan tewas. Begitulah kepercayaan orang-orang desa.
Di sisi lain, beberapa kera saling memaki, sahut menyahut. Di sisi barat, merupakan tebing belantara. Tumbuh aneka tanaman rimba yang kami tidak tahu jenisnya apa. Di sisi selatan, terpetak perkebunan jati, maoni, pinus, dan damar, yang diolah pihak Perhutani.