Kang Kardiono, anaknya Budhe Wati, merokok sebal-sebul bersama si Sulik anaknya yang tengah bermain bongkar pasang. Mainan baru itu mendadak digemari anak-anak. Berisi gambar perempuan, baju-baju, dan pernak-perniknya. Gambar-gambar itu lantas diguntingi terlebih dahulu supaya bisa memisah. Lalu, tokoh orang-orangannya bisa dipakaikan dengan aneka busana yang tadi sudah diguntingi juga.
Udara tak menggesek irama apa pun.
Dalam kubus ruang, kami saling melempar omongan bersama pria yang acapkali menggodaiku itu. Didin dan si Sulik terlihat bermain dedaunan di pelataran depan.
Tiba-tiba.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sahutku.
Leherku bergerak lambat menyambut muasal suara.
Bumi seakan berhenti berputar.
“Loh! Kang Yanto?!”
“Kang, Kang, Kang, Ya, Ya, Yanto?!”
“Kang Ya, Yanto?!”
Bulu mata laksana berkedip ribuan kali.
Deg!
Sejenis belati mencongkel jantung. Mata melotot tajam. Tubuhku tergagap-gagap tak karuan.
“Sa, sampean su sudah pu pu pulang, Kang?!”
“Kakaaang!" teriakku kencang. Aku berlari mendaratkan kerinduan ke bidang kekarnya. Suamiku tiba-tiba hadir dalam mimpi nyata. Kupeluk erat-erat tubuh luasnya. Aku hanyutnya segala gundah, nestapa, kerinduan, cinta, dan getaran-getaran jiwa. Semua kutumpahkan tanpa sisa.
Kurasakan betul-betul kehangatan tubuhnya bergabung dengan denyut jantungku sendiri yang bergerak naik turun. Hingga seolah jiwa terlepas dari badan. Kuisap aroma khas bajunya. Kusedot dengan hirupan kuat. Bibirku menjilati kainnya dengan penuh kecintaan. Sungguh, kutumpahkan segala kerinduan sepuas-puasnya.
“Kang, Lasmini rindu sekali padamu, Kang. Rindu sekali,” getarku menghamburkan keharuan tiada tara.
Tubuh menari dalam jurang pelukan. Seakan tak mau melepas gagahnya dari rengkuhan dahsyatku. Aroma minyak wangi dari bajunya, membuatku mabuk kepayang. Kunikmati berlebih-lebih. Hingga aku tersadar, ia ternyata mulai membuang pundakku dari pundaknya. Lelaki yang teramat kucintai ini ternyata tak menyambut rangkulanku dengan baik. Ia malah berdiri mirip boneka. Dingin. Mukanya hambar. Tatapannya lalu ia buang ke kanan. Tak mau menatapku secara lurus.
“Las, ada air putih?” pintanya.
Aku mengulang tegun. Secepat geledek, kuambil kendi dan sebuah gelas untuknya.
“Minum, minum ini, Kang!”
“Eh, Yanto?! Akhirnya kamu pulang juga, yah?!” sambut Kang Kardiono yang sedari tadi duduk berdua denganku ikut menyalami.