Latar rumah Pak Kasun, berjubel kelompok Posyandu. Satu persatu bayi dicantolkan memakai kain selendang di bawah timbangan gantungan. Dicatat bobotnya di kartu KMS yang bergambar seorang ibu sedang meneteki bayinya. Lalu, deretan gelas berisi bubur kacang hijau, dibagi merata.
“Eh, Lasmini? Si Yanto katanya sudah pulang, yah?! Wah, mana oleh-olehnya? Mbok, yah, saya ini dikasih oleh-oleh. Dikasih kurma, apa air zam-zam begitu. Kalau nggak ada, yah, jubah, siwak, celak, sorban, tasbih, sajadah, atau apalah begitu, Las,” celetuk Yuk Nuriyah tiada henti. Belum sempat kujawab, ia sudah mencecarku dengan kalimat lanjutan.
“Eh, Lasmini! Kemarin, saya lewat depan rumahmu, loh. Bojomu sekarang tambah ganteng, yah! Masya Allah! Berjenggot dan berpeci. Duh, adem pastinya hatimu, Las. Kamu pasti seneng yah punya suami yang alim begitu? Nggak rugi bertahun-tahun minggat ke Saudi, pulang-pulang jadi kiai, ha ha ha.”
“Yuk, Kang Yanto di sana itu nguli. Nggak pergi haji. Kalau mau minta oleh-oleh, yah, nggak ada,” sanggahku.
Seorang Mbok-mbok menyelip, ikut menimpruk. “He, Nur. Lasmini ini ‘kan dukun pijat, dukun ramal, kalau bersuami sama kiai kok yah jadi bagaimana, yah? Kok sepertinya nggak nyambung, yah?”
“Hus! Bibir ndower sampean ini Mbok! Kalau ngomong itu mbok yah dijaga! Betul begitu, ‘kan, Mbak Lasmini wong ayu?” balas Yuk Nuriyah menampis gurauan Mbok Sum. Mbok Sum ini seorang penjaja perkakas keliling. Setiap sore, ia menawarkan bedak, kemiti, benges, benang, hingga kapas. Kadang pula jualan piring, gelas, cangkir, termos, secara kredit. Tetapi, lagaknya sama halnya air meletup, kalau sudah memuncrat ke kulit, nyelekit sekali rasanya.
“He he.” Kubalas dengan senyuman ringan. Aku lanjut menyelinap ke kediaman Pak Kasun.
“Ibukmu di mana, Nduk?” tanyaku menyapa Ajijah anaknya Pak Kasun. Ia serius menonton siaran TVRI.
Warta hari ini, Bapak Presiden Soeharto, meresmikan sebuah pabrik logam di Karawang, Jawa Barat.
“Itu Pak Soeharto, yah, Nduk?” tanyaku sambil mengambil duduk di kursi rotan tak jauh dari TV hitam putih itu berada.
“Iya Budhe, Pak Soeharto.”
Terlintas, Bapak Presiden itu berbicara begitu tenang, lugas, dan penuh wibawa.
Budhe Sumik memajukan langkahnya dari ruang tengah menemuiku di ruang depan. “Begini, loh, Las. Budhe ini sengaja nyuruh kamu datang kemari ini, lantaran ada yang ingin Budhe omongkan. Eh, katanya, kamu sedang ada masalah yah sama si Yanto?” tanya Bu Kasun dengan muka penuh penasaran, langsung menjerumus ke pokok permasalahan.
Selain Yuk Ningsih, orang yang sering membantuku adalah Budhe Sumik ini, ia istri pertamanya Pak Kasun. Sedang madunya, tinggal di desa lain—seorang janda anyaran yang lantas dinikani kepala dusun Awan itu—tanpa bilang-bilang terlebih dahulu pada istri pertama.
“Loh, memangnya kabar rumah tanggaku sudah nyebar ke seluruh pelosok dusun yah, Budhe?”
“Yah, sepertinya begitu, Las. Ada tambahan lagi, itu si Saidah, katanya, tiap ada orang yang beli minyak ke tokonya, selalu ditiupi kabar angin. Eh, sekarang dia nggak hanya jual minyak gas, loh, Las. Hemmm! Kok nggak punya perasaan yah orang itu?! Wong di depannya sudah ada tokonya Yuk Tinem, eh malah ia saingi. Lah, kalau si Saidah juga jualan sembako, lak, yah, nutup rezekinya orang yah, Las?!”
“Budhe, kalau masalah rezeki sudah ada yang ngatur. Sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. Memangnya dia woro-woro apa ke orang-orang?!”