SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #12

Kebimbangan

Sinar mentari mencumbui petala angkasa. Kusempatkan mengupas nangka muda sebelum manusia dusun ada yang berangkat ke kebun. Namanya jangan tewel. Kupetik segarnya dari pohon belakang. Air meletup menguapkan hawa panasnya. Potongan berbentuk kubus kecil, kujeburkan satu persatu. Enam siung bawang merah, tiga biji bawang putih, cabai besar, kemiri, ketumbar, kunyit, garam, gula, semuanya lumat menjadi satu dalam lingkaran cobek yang terbuat dari batu. Kueseng-eseng bumbunya, harumnya menembus syaraf penciuman. Lantas, kucemplungkan ke panci yang airnya telah mendidih itu. Tiga lembar daun salam dan satu geprek laos, ikut menyumbang kesedapan lodeh khusus untuk suamiku.

“Kang, sebelum beranjak, isi perut dulu, yah. Sebentar lagi nasinya matang. Lasmini baru napung di dandang,” bilangku padanya. Ia masih khusyuk bermunajat. Senandung dzikirnya mengalir syahdu. Tubuh tingginya seolah menempel lekat di atas dataran sajadah. Melepas Subuh, ia tidak langsung berdiri, melainkan lanjut membungkuk menghadap Gusti dengan puji-pujian tambahan.

“Iya, Las,” singkatnya. Sekilas, suaranya tak ubahnya sponsor radio. Lewat begitu saja.

Si Mbok memandikan Tole di sedongan belakang. Saking dinginnya, bibir anakku membiru menahan tumpahan air dari puluhan cibuk yang menyiramnya.

“Hari ini jadwalnya apa, Le?!” tanyaku setengah meneriaki.

“PMP dan kesenian, Mak!” sahutnya tak kalah semangatnya.

“Emak masukkan ke tas, yah. Uang jajannya juga sudah Emak siapkan di dalam!”

“Iya, Mak!”

Sajian pagi tertata rapi di amben. Didin berganti merah putih lengkap dengan dasi kecil yang bersembunyi di antara lehernya yang pendek. Hari ini upacara bendera, ia berangkat lebih awal.

Sewakul nasi, tempe penyet bertabur lamtoro, ikan asin rabuk jagung, sepanci lodeh tewel, dan secobek besar sambal tomat, menggugah lidah siapa saja yang ingin sarapan.

Si Tole sarapan dengan lahapnya. Si Mbok belum mau makan, ia malah menjejali sapi-sapinya dengan rerumputan hijau yang ia pangkas sendiri dari kebun.

Kang Yanto laksana pendekar keluar dari gua pertapaannya.

“Kang, ayo kita makan bareng,” pintaku mengarah ke wajah binarnya.

Ia menyahut dengan rupa keengganan. Dahi beningnya ia lap. Menyaksikan Didin makan tergesa-gesa, ia justru membalikkan badan. Memilih meringkuk ke ruang tamu tanpa menyapaku dengan sepatah kata pun.

“Kang, Lasmini buatkan kopi dulu, yah?” tawarku lembut, mencoba dengan pilihan lain. 

“Gulanya sedikit saja,” datarnya.

Selagi jemariku mengaduk kopi berpadu dengan didihan air, dari depan, teriakan kawanan krucil riuh mengagetkan.

“Din! Ayo, Din! Ayo, berangkat!” panggil teman-temannya. Tak lupa, si Sulik, anaknya Kang Kardiono itu ikut berteriak. Kasihan anakku, makanan masih merambahi batang tenggorokannya, teman-temannya sudah mengobraknya.

Kebiasaan anak-anak dusun, berangkat sekolah beramai-ramai. Begitu pula nanti pulangnya, mereka juga bersamaan.

Tubuh mungil anakku menyerobot. Tak peduli masih ada upa menempel di selingkar bibirnya yang bulat. Gegas, ia menarik tasnya.

“Din, salim dulu ke Bapak!” perintahku kemudian.

Kang Yanto setia di tempat duduknya. Kaki panjangnya ia ulurkan lurus. Punggung kokohnya mendampar ke sandaran kursi, santai menikmati pagi.

Langkah Didin dihentikan oleh keraguannya sendiri. Leher pendeknya berputar pelan ke arah Kang Yanto berada.

Lihat selengkapnya