Mbak Sri, Mbak Sri. Kenapa suamiku membencimu? Bukankah engkau termasuk makhluk beriman? Mengakui Gusti Allah sebagai satu-satunya Gusti Pengeran? Dan Kanjeng Nabi adalah rasul terakhir-Nya?
Jika kumeninggalkanmu, itu artinya aku memutus pertemanan yang telah lama kita bina. Aku tidak mau mengacuhkanmu, Mbak Sri. Aku tidak rela! Aku ingin selalu bersamamu, Mbak Sri.
Bersemedi dalam kesenyapan. Kemelut kemenyan membumbung tinggi merubungi sekotak kamarku. Lirih kretekan garam, memercik mowo yang menyala-nyala.
Bayang-bayang melintas. Ketika itu, usiaku belum terlalu genap. Masih asyik berlugu seorang bocah enam tahunan. Sebuah senja melebatkan hujan. Langit diliputi kegelapan. Uap awan menyelimuti tebal sedesa Sumberpitu. Guntur petir sambar menyambar tiada henti. Aku tertinggal rombongan teman-teman di tengah rimba seorang diri.
Sebelum awan berubah menjadi tetesan tangisan, kami masih asyik mencari buah juwet. Setelah itu, langit tiba-tiba memekak amarahnya. Gelegarnya memecut ketakutan para manusia.
Sembilan temanku terbirit keluar dari rimba raya. Kakiku terlalu lembek. Tertinggal. Hingga sadar, diriku sudah berada di dekat pohon besar tepat di tengah-tengah belantara.
Aku berteriak ketakutan. Meminta tolong sekuat mulut tapi sia-sia. Tidak mungkin ada manusia mendengar jeritanku. Aku mendekap tubuhku sendiri menahan kebekuan. Tubuh tak berdayaku bernaung di bawah pohon yang akarnya menggelayut bagai ular weling menjulur-julur.