Tubuhku lunglai. Kepala cekat-cekot. Hidung mampat. Tenggorokan mengendap rasa kering berbaur rasa gatal tak karuan.
“Kamu sakit yah, Nduk?” tanya Si Mbok. Ia tampak khawatir, hingga tak jadi ikut mecok18 di kebunnya Budhe Wati.
“Nggak apa-apa kok, Mbok. Lasmini hanya pilek,” jelasku bersuara bindeng. Napas mendayung berat. Hidung seakan disumpal berkilo-kilo kain sobekan.
“Si Mbok parutkan temu ireng, yah, Nduk?” tawarnya bergegas ke pawon. Dengan akasnya, si Mbok memutari bothe'an--wadah bumbu--mencari temu ireng. Seruas temu sebangsa kunyit itu lantas ia parut bersama jahe, ia peras sari patinya. Sekejab, kaki lincahnya kembali menggenggam mug besar berisi seduhan pahit ke hadapanku.
“Bismillah dulu, Nduk. Biar cepat waras!” Lengan kerasnya menyuguhkan cairan obat ke mulutku. Mata ikut ketar-ketir ketika seduhan pahit ini mulai membasahi tenggorokan.
Glek! Glek! Glek!
“Pahit sekali, Mbok!” sambatku.
“Nggak apa-apa, Nduk. Biar cepat hilang penyakitmu.”
***
Udara siang tanpa berbisik. Badanku kemudian menyandar di hamparan kasur kapuk. Kulit mulai mengembun semacam butiran segar. Pertanda, obat dari si Mbok bekerja. Lamat-lamat, bunyi derap langkah mendekat. Menyusul kemudian, bunyi tawa ringan menyelinap.