Wasyukurillah, selepas meneguk jamu, meriangku lumayan mereda.
Ada undangan rapat di rumahnya Pak Kasun, tepat pukul empat sore nanti. Semua wanita dusun diwajibkan hadir. Ada penyuluhan kesehatan dari Pak Kades di sana. Tetapi, saat ini, di rumah masih ada orang meminta suwuk.
“Perutnya tambah melembung, Yuk." Ratapan penuh kepiluan.
“Sudah berapa lama sakitnya?!” tanyaku.
“Hampir lima mingguan. Sudah saya bawa ke mana-mana. Suwuk mulai dari air, garam, kelapa muda, sikep, hingga mandi kembang tengah malam, masih nggak ada perubahan.”
“Apa pernah disuntikkan ke Pak Mantri, Yuk?!” tanyaku lagi.
“Halah, Yuk. Suntik tiga kali ke Pak Mantri, bukannya malah sembuh. Eh, malah tambah parah!”
“Kata Pak Mantri apa penyakitnya?” tanyaku melanjutkan.
“Pak Mantri nggak bilang apa-apa, Yuk. Yah, memang tidak ada penyakitnya mungkin. Makanya, saya larikan ke dukun saja. Semua dukun juga sudah saya jajaki. Yah, semoga ini suwuk yang terakhir, Yuk.”
“Amin. Ditunggu yah, Yuk. Saya ke belakang dulu,” pamitku melangkah ke ruangan pribadi.
Mengecap panggilan pada Mbak Sri, seperti biasanya.
Melipat kaki di antara hamparan tikar pandan berwarna cokelat. Kemudian, menjerumuskan pikiran secara tajam. Menguntai nama Kanjeng Nabi beberapa kali. Selambu telah kusingkap rapat-rapat. Suasana gelap. Aroma menyan menguar, memenuhi seantero ruangan remangku.
Mantra kugulung sepuluh kali. Namun badan tak kunjung menguapkan kelembapan. Tak kunyana, tetap saja tak ada tanggapan.
Kembali kuucap mantra lebih khusyuk lagi. Mungkin saja hati ini masih gelisah, tak sesenyap seperti biasa. Tetapi, tak kunjung ada tanda-tanda munculnya jin perempuanku itu.
“Mbak Sri, Mbak Sri, ke mana kah sampean, Mbak Sri?” cariku. Perasaanku mulai khawatir.
“Mbak Sri? Mbak Sri?”
Ke mana, yah, Mbak Sri ini? Batinku.
Semakin gelisah mencari kurasa.
Penasaranku bertambah tinggi tatkala ingat, tadi malam, dari kamar sebelah, Kang Yanto menguntai surah al-Baqarah beberapa kali.