Tanpa undangan, malam selalu datang. Suasana dusun seperti biasa, hening. Aku menaruh ujung punggung di amben pawon memandangi tungku berwarna jingga menyala-nyala. Si Mbok menyeduh wedang gulo. Si Didin belajar huruf-huruf hijaiyah di langgarnya Ustadz Jainuri. Kang Yanto membisu semenjak ia tahu, sore tadi, aku masih menerima orang meminta suwuk.
“Apa salahnya Lasmini membantu sesama, Kang?” Sedihku sedari tadi menahan deraian.
“Kamu salah, Las. Kamu itu tidak pernah patuh sama saya!” Kalimat Kang Yanto mulai meninggi bagai banteng menancapkan tanduk ke perut lawannya.
“Kenapa Kakang melarang Lasmini nyuwuk orang? Padahal, itu hal baik, Kang!”
Pria berambut lurus ini sejenak menutup bibir tipisnya. Aku merapal kekuatan hati sekuat tenaga. Si Mbok acuh tak acuh, seakan sungkan mencampuri urusan kami yang sudah memanas semenjak sore tadi.
“Tolong, tinggalkan Mbak Srimu itu!” larangnya.
“Kenapa harus Lasmini tinggalkan, Kang? Dia itu jin baik. Sama-sama makhluk ciptaan Allah, sama seperti kita!” belaku.
“Sesungguhnya, ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin. Tetapi, jin-jin itu menjadikan manusia bertambah sesat. Itu makna dari surat al-Jin, Las! Nurutlah sama saya! Kamu itu, ‘kan pernah mondok? Pernah juga sekolah. Di lemari, kamu punya banyak kitab dan buku-buku. Apakah kamu tidak paham pada kandungan ayat itu, Las?!” tanyanya lebih tegas.
Mataku menukai ke hamparan tanah. Sembari menata kalimat sanggahan.
“Paham, Kang. Paham. Saya masih ingat betul apa yang pernah Mak Jujuk jelaskan. Lasmini ini tidak meminta perlindungan kepada jin. Lasmini hanya meminta bantuan doa darinya dan menanyakan letak sesuatu perkara seperti halnya saya menanyakan alamat rumah kepada seseorang. Jadi, Lasmini percaya, Lasmini tidak sesat, Kang!”
“Sama saja artinya, Las. Kamu itu bergantung pada jin. Tidak bergantung murni kepada Allah. Sesungguhnya, hanya kepada Allah-lah tempatnya meminta pertolongan. Sadarlah, Las!”
“Kang, mohon maaf, jika Lasmini cerewet. Kalau begitu, ketika Lasmini mau suntik, apakah Lasmini meminta suntiknya langsung kepada Gusti Allah? Tidak, ‘kan, Kang? Dalam dunia ini, masih ada yang namanya ikhtiar,” belaku lagi.
Gudang kesabaran Kang Yanto mulai menipis. Gerakan bahunya mulai menggelisah.
“Mbak Sri itu benar-benar telah menutup mata batinmu, Las! Sebaik-baiknya kaum jin adalah sefasik-fasiknya kaum manusia! Percayalah pada saya, Las. Jin itu cerdik. Dia punya bermacam-macam gaya demi menyesatkan umat manusia!”
“Saya tidak sesat, Kang!”
“Setan calon penghuni neraka pun merasa dirinya tidak sesat!” sanggah Kang Yanto seakan menimpalkan didihan darah ke ubun-ubunku.
Jiwa suamiku makin meledak. Kitab al-Quran di tangannya ia tutup rapat-rapat. Kemudian, setengah berlari merasuk ke kamar. Pintu ia tutup kencang-kencang.
Brak!
“Kang?!”
“Kakang?!” teriakku kedua kalinya.
Bola mataku mencak-mencak. Kuliriki si Mbok di pawon, tetap tidak mau ikut menyumbang kata-kata.
Hawa pilu semakin menusuk kulit. Sumber kesedihan bertambah menetes. Aku terisak. Kucoba bangkit meraup obor yang tertancap di teras. Mungkin Didin juga sudah waktunya pulang dari langgar. Kasihan, kujemput saja dia.
Belum sempurna tumit melangkah, terdengar teriakan keras dari latar depan.
“Keluar kamu Lasmini!”
Kepalaku langsung terhenyak. Si Mbok berdiri lekas-lekas. Kang Yanto juga ikut keluar membuka engsel pintu dengan cekatan.
“Siapa itu, Nduk?” tanya si Mbok gemeblek. Bibir bawahnya ia gigit. Dua telapak tangannya saling berangkulan.
Kami segera maju. Puluhan, seolah mereka datang hendak meringkus. Sekujur bulu di tubuhku bergetar tak terkendali. Dua lututku saling bergesekan. Para tetangga sebagian berduyun datang.
“Las! Keluar kamu!! Cepat!”
Sekuat nyali, kubuka pintu.
Deg!
“Ada apa, yah?!” kagetku.