Dusun Awan gempar. Warta tentang banyaknya anak kecil yang diulik-ulik jin, santer mengedar luas. Bukan hanya Nanik putrinya Yuk Kartiwik saja yang dirasuki makhluk jahat. Sulik, anaknya Kang Kardiono, juga menggeram amukan hebat tatkala disambangi orang. Pada tiap orang yang menyapanya, tak segan keponakanku itu mengayunkan arit sambil melotot tajam mengancam.
Gonjang-ganjing tuduhan pun melejit ke arah wanita asal Malang, Bu Saidah. Teruntuk Budhe Wati sebagai bebuyutannya. Dusun yang semula cukup adem tentrem, kini terpecah menjadi tiga blok. Sekelompok masyarakat diketuai Budhe Wati, melabrak Bu Saidah yang tengah menimbang beras di tengah-tengah tokonya. Kelompok lain, mencurigai Mbah Songgowirto si pemangku pesanggrahan Kemangi. Dan satu lagi kelompok, memang dari awal mereka menuduh, yaitu Bu Saidah dan para sengkuninya yang selalu menyepak bola api ke arahku.
Apalagi, semenjak wanita bermuka lonjong itu melapak aneka sembako, dagangan Yuk Tinem menjadi jarang laku. Warga semakin menyebul desus, dagangan adiknya si Mbok itu tidak laris akibat pola ganda dari si wanita tua. Namun, tidak sedikit yang masih memihak kepadanya. Wabil khusus orang-orang sekelilingnya yang selama ini mengisap mata pencaharian darinya.
“He, Saidah! Hentikan kejahatanmu!” bentak Budhe Wati menabok kesunyian. Aku hendak ater-ater tiwul atau memberi sepiring tiwul ke rumahnya. Eh, malah wanita bersuara cempreng itu sudah lebih dulu menyilang pinggang di depan toko musuhnya.
Bergegas kulempar jajanan dari tepung gaplek itu ke atas taplak saking tergopohnya, lalu ikut rombongan Budhe Wati menghampiri Bu Saidah. Begitu pun si Mbok yang tengah menganyam bambu untuk dibuat gedeg, berdiri berlonjak mendengar kerusuhan dari halaman rumahnya Bu Saidah.
“Eh, ada apa, yah?!” Suara Sulastri terdengar menghadang kehadiran Budhe.
“He, maju sini kamu Saidah! Hentikan ulahmu!” sentaknya gamblang, mak gebrak begitu saja.
Rerimbun uban di kepala Bu Saidah seakan tenang walau digoyang gertakan raksasa yang tengah asyik melabrak. Seringai munafiknya melanggam lembut sembari tetap membungkus butir per butir beras ke dalam kresek berwarna putih.
Emak-emak yang tengah membeli ikut terkejut mengetahui budhenya Sulik itu begitu saja menyerang tanpa aturan. Menyisingkan kain seweknya, hingga membuatnya keserimpet hampir terjengkang.
Budhe Wati tidak sendirian, ia menurunkan amarahnya bersama anggota khusus: Mak Tinem, Mbok Lasuni, Sriyamah, Budhe Kustini, dan Yuk Kasih. Mereka termasuk kelompok pemberani.
“Apa yang sudah ibukku lakukan hingga Anda-anda sekalian ini marah-marah begitu?” Sulastri kembali melemparkan suara. Bibirnya separuh ia gigit seperti menahan ketakutan.
“Ibukmu itu tukang santet, Tri!” tuduh grup pemberani menuding lurus. Ucapan Budhe dan kawan-kawannya tersebut jelas menyemburat keresahanku. Jika ucapan mereka itu benar adanya, alangkah bahayanya posisi mereka. Sewaktu-waktu, bisa saja perut mereka membengkak, membiru, kemudian meletus seperti halnya riwayat nahas Mak Sukayah dulu.
“Astaghfirullahal adzim!” kaget bidan muda tersebut menepuk ringan dadanya. Dua telapak tangannya lalu ia gandeng rapat-rapat.
“Kalian nggak usah pura-pura nyamar menjadi dewi suci dengan menyebut-nyebut asma Ilahi! Mengaku sajalah! Kalian itu memang keluarga busuk! Sukanya mempola orang!” Amarah Budhe Wati meloncat-loncat beringas. Dua tanduknya membara. Kerutan antara kelopak matanya ibarat kulit pohon menahan kekeringan teramat sangat.