Melumat sayur asem bersama brengkes tongkol, ditemani kerupuk puli, sambal lombok hijau, ditutup dawet pakai gula jawa, rasanya nikmat sekali.
Siang terik. Suara serangga bernyanyi nyaring. Walau begitu, hawa cukup menyejukkan. Semilir angin menerpa pelan rambut panjangku.
Usai bersantap, semburat angin menggiringku menuju kebun cengkeh milik Budhe Wati di Dusun Kemangi. Letaknya tak jauh dari pesanggrahan keramat Mbah Songgowirto, si dukun yang kini banyak menjadi bunga mulut orang-orang sekampung itu.
Pesanggrahan tersebut, konon, sudah berdiri sejak zaman Belanda. Mbah berjenggot putih itu kabarnya keturunan kesekian dari Kuti si pemberontak kerajaan Majapahit. Pengetahuan tersebut, kuterima ketika kuberguru ke almarhumah Mbah Jenar. Mbah Jenar adalah pemangku pedepokan Umbul-umbul. Sebuah tempat yang letaknya beberapa kilometer dari sumber mata air Winongan, Pasuruan.
Lima tahun berjalan, aku mencuri ilmu pada wanita penerus ilmu kegaiban itu. Menurutnya, ilmu gaib adalah mutlak milik Gusti Allah. Manusia hanya dianugerahi sedikit. Andaikan seluruh air lautan dijadikan tinta demi menuliskan ilmu Allah, dan dedaunan di bumi dijadikan kertasnya, maka sedikit pun tak cukup menuliskannya.
Selesai berguru di padepokannya Mbah Jenar, aku lantas berpindah belajar ke Pondok Pesantren al-Istiqomah, Rejoso. Mengaji kitab kuning dan duduk di bangku Madrasah Aliyah. Setelah boyong atau istilahnya selesai mondok, Kang Yanto melamarku. Namun, tangga perkawinan kami tak beranjak mulus, beberapa tahun merangkai bingkai cinta, suamiku memilih merantau ke Arab Saudi, bersama Sulastri.
Pandanganku kini jelalatan mengawasi petak perpetak jalan menuju perkebunan. Aku bareng si Mbok hendak mengunduh cengkeh. Si Mbok teruji lihai memanjat. Sudah ada tangga bambu di sana. Kami berdua tinggal menyangking keranjang dan karungnya saja.
Mbahnya Didin itu sudah lebih dulu hinggap di pucuk pohon. Gayut pergayut bebijian, ia geropyok dengan sahutan ganas. Namun, kutinggal sebentar. Perutku sudah tidak bisa diajak bermusyawarah lagi. Gara-gara sambal lombok hijau tadi, lambung seperti diremas-remas hingga mules ke usus rasanya.
Kaki menuruni cepat undak-undakan terjal ke sebuah aliran besar. Air deras meluncur dari arah selatan. Bebatuan hitam tampak terpancang kuat memenuhi sepanjang aliran. Seakan menghadang terjangannya yang menabrak tiap celah dengan hantaman penuh kekuatan. Aku berjongkok di balik sebilah batu. Membuang hajat sambil menikmati keteduhan, gemericik air, dan kicauan burung-burung. Ah! Alangkah nyaman sekali.
Aku terkejut, ketika melihat air berlarian membawa lembar bunga-bunga mawar. Hajatku masih belum sepenuhnya tuntas. Lalu kupercepat dengan mengeratkan otot, mengeluarkan gumpalan ampas untuk segera bergabung pada aliran. Karena semakin lama hanyutan bunga itu semakin bertambah banyak, apalagi sepotong ayam ikut menghanyut, aku gegas-gegas bersuci, lanjut mencari muasal keanehan.
Sepertinya ada sesuatu yang kurang beres di sana! tebakku dalam hati.
Kain kerudung kuikat rapat melingkari dagu. Tangan kanan sembari kuat memegangi caluk20. Berjalan seloyor menyusuri pinggiran. Batu-batuan licin kutapaki. Semak belukar kusingkirkan. Terus saja menjangkah mencari sumber kejanggalan. Jangan-jangan, semua memang berpusat dari Pesanggrahan Kemangi itu?! Batinku lagi.