Sejenak mengesampingkan kerasak-kerusuk pesanggrahan. Nyaliku tak cukup ampuh melapor ke Pak Kades. Tidak kuatnya bukti dan rasa tinggi mawasku, meredupkan keberanianku. Biarlah, sementara waktu, kupurbakan jauh-jauh pemandangan tadi siang itu. Buruk, tertusuk, kaget, setengah tidak percaya. Tak kuduga, mereka betul-betul sosok yang memang tidak beres.
Malam senyap. Jarum jam mulai bergeser ke arah angka sembilan. Warga dusun menyelonjor santai. Me-leyeh-leyeh-kan pikiran dan meluruskan kekakuan punggungnya masing-masing setelah seharian nyambut gawe di ladang. Ada yang terlihat meringkuk ke dalam jaketnya, ada pula yang terlihat menggulung sarung ke leher, melingkari kepalanya, ada yang benar-benar membawa selimut dan bantal. Kami mengikuti pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwokolo dengan penuh kegembiraan.
Lakon itu biasa dipentaskan ketika malam 1 Suro. Yah, betul, malam ini adalah malam 1 Suro. Walau kurang disetujui Pak Kades, acara ruwatan dusun yang digagas oleh Pak Kasun tersebut tergelar tanpa halangan. Seperangkat gamelan dendang mendendang mengikuti hentakan wayang dari layar putih yang kami menyebutnya kelir. Cahaya kemuning blencong, menebar tipis menyuguhkan acara kemeriahan.
Pak Kasun paham betul, mulai dari gangguan sunatan Didin, kematian Mak Sukayah, kerasukannya si Nanik, penyakit aneh si Sulik, dan terbaru Mak Tinem yang ujuk-ujuk sakit aneh tidak bisa berdiri, hingga setiap malam ada saja sapi yang hilang. Semua itu menjadi pondasi kuat sang pemangku dusun untuk meruwat Pedukuhan Awan. Berharap membuang sial dan menghentikan mala petaka yang digulir makhluk-makhluk jahat. Entah itu dari gangguan keluarga iblis, dari jin kufur, atau mungkin kekuatan hitam dari kalangan manusia sendiri.
Semalaman suntuk, kami tidak memejam. Menurut Pak Moelyono, ruwatan malam 1 Suro bertujuan sebagai sarana pembebasan manusia dari kesalahan dan dosa yang berdampak pada kesialan kehidupan.
“Anakmu besok ikutkan tugel kuncung21, Las,” pinta beliau yang duduk bersila di sampingku.
“Enggeh, Pak,” jawabku.
Aroma kemenyan menghangat dari bara anglo yang menyala-nyala merah. Sekitar ki dalang, tergeletak sesaji berupa setandan pisang raja, batang tebu, daun beringin, dan alang-alang. Aku tidak terlalu paham ritual komplit yang harus dijalani. Aku hanya ikut melek'an sampai waktu Subuh tiba. Kalau Pak Moelyono, beliau lengkap menjalani ritual per-ritualnya, hingga berendam di tengah malam pun rela ia laksanakan.
***
Sepuluh hari kemudian.
Beberapa hari sudah diriku tidak disapa Kang Yanto, semenjak aku dan si Mbok ikut menonton wayang di malam 1 Suro kapan lalu.
Hari ini tanggal 10 Suro, alias 10 Muharrom.
Secobek tahu kecap, grengsengan pepaya muda, dan eseng-eseng kerang, kutata di amben pawon.
“Kang, bangun, Kang. Katanya sampean mau puasa Asyuro?” gugahku padanya. Gesit, lelakiku itu bangkit. Ia menyahut sarung, kemudian bergegas mengambil wudu di sedongan belakang.
Setelah itu, ia langsung menekuk badannya di atas dengklek menghadap nasi hangat beserta lauk pauknya tadi.
“Nasinya dihabisin loh, Kang. Nanti kalau habis, Lasmini nanak lagi,” tuturku sembari menyidukkan nasi dari wakul bambu ke piring yang terbuat dari bahan seng.