SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #21

Jenang Suro

Mentari kembali memercikkan sinar hangatnya. Aku dan si Mbok bergulat di pawon. Sogokan kayu besar menjejali muka tungku. Sebuah periuk gede berisi adukan beras bercampur santan, meletup-letup. Si Mbok menyiapkan lauk pauknya yang nanti akan ditaburkan ke atas masing-masing tatanan jenang itu. Namanya jenang suro. Jenang berasa gurih setengah asin. Dituang di atas lembaran daun pisang. Atasnya diberi taburan kacang goreng, ikan teri, irisan dadar, dan potongan tempe. Lalu, siap dibagikan ke tetangga-tetangga. Sebagian lagi nanti akan dikendurenkan, selepas jamaah Dhuhur.

Tak terbesit sedikit pun dalam benak, selamatan jenang Suro itu asalnya dari ajaran kanjeng Nabi atau bukan. Yang kami tahu adalah; memberi sepiring makanan ke tetangga dibalas ucapan terima kasih saja, hati ini sungguh gembira. Bukankah Kanjeng Nabi itu gemar membagi-bagikan makanan ke tetangganya? Bukankah tersenyum kepada sesama saudara itu juga bentuk sedekah? Apalagi memberi makanan ke tetangga dan membuat mereka tersenyum, yah semoga saja pahalanya berlipat ganda.

Klekkk!

Pintu ruang tamu terbuka.

Aku meluruskan kaki dengan gerakan cekat. Ternyata, Kang Yanto pulang tanpa kuperkirakan.

“Alhamdulillah, Kakang sudah pulang, yah. Mmm, sebentar lagi para undangan mau ngumpul, Kang. Tenang, Kang, doanya nanti akan dipimpin Pak Moelyono, jadi … Lasmini nggak merepotkan Kakang lagi,” ucapku gembira bercampur kekhawatiran. Akhirnya, suamiku itu bersedia ikut kendurenan.

Seperti biasa, Kang Yanto tak banyak bicara. Dengusan hidungnya seolah menahan aroma tak sedap. Kukira, ia akan pulang nanti sore, sehingga diriku bisa bebas meritual, mencari keberadaan Mbak Sri dengan segala kepulan menyanku.

“Mana tas besarku, Las?!” tanyanya secara tiba-tiba.

“Tas?!” kejutku.

“Iyah!”

Lihat selengkapnya