“Mbok, maafkan Lasmini jika ada salahnya,” rintihku sungkem padanya.
“Iya, Nduk. Jangan lama-lama yah, Nduk. Cepat pulang.” Kedua mata si Mbok melembab. Hatiku ikut merembes keharuan.
Si Mbok lalu manggut-manggut, ia terlihat sesegukan.
“Saya pamit dulu yah, Budhe. Sering-sering tengokin Didin,” pesanku kepada Budhe Wati.
“Pasti, Las! Kamu tenang saja!”
Selain Budhe, ruang tamu dikerubungi orang-orang yang selama ini senantiasa menyokongku, ada Yuk Ningsih karibku, Dek Sarpiyah si tetangga, Pak Moelyono sang tetua, dan Kang Kardiono si duda beranak tiga itu.
“Le, Tole. Emak mau pergi dulu, yah. Kamu nggak boleh nakal-nakal loh, yah. Nggak usah keluyuran ke hutan!" pesanku.
Wajah lugu Didin terlihat ditekuk-tekuk. Pipi tembemnya ia kembung-kembungkan. Kudekap kemudian ia dengan penuh kehangatan. Kening, rambut, dan dua pipinya kuciumi penuh rasa kasih sayang. Setetes air di matanya ikut bermunculan.
“Eh, jangan nangis, Le. Emak pasti secepatnya pulang, kok,” janjiku seraya mengelus-elus kepalanya beberapa kali.
Aku lanjut beranjak. Satu tas besar, dibantu geret Yuk Ningsih menuju jalan depan.
“Yuk Las! Kalau balik, bawa o oleh-oleh loh, yah!” teriak Dek Sarpiyah begitu girang. Dalam otak perempuan gendut itu, selalu mengitar makanan, makanan, dan makanan.
“Walah. Saya ini nggak ngelencer loh, Dek. Saya mau jernihkan pikiran,” sahutku.
“Saya berangkat dulu, yah. Assalamualaikum!” lanjutku.
“Waalaikumsalam.” Serempak mereka menjawab.
Langkah banterku gesit meninggalkan gubuk sederhanaku. Menghindar sebentar dari hiruk-pikuk permasalahan. Sejenak, aku akan meneduhkan diri di sebuah tempat yang menenangkan.
“Mak! Emak!” Didin berteriak. Ia menggulung tangisnya, tetapi tidak kuhiraukan lagi.
“Yuk, ayok! Setengah jam lagi truknya Pak Salimin lewat!” Yuk Ningsih menarik lenganku.
“Hati-hati di jalan, Las! Moga-moga, selamet sampai tujuan!” seru Pak Moelyono melepas kami pergi.
Saat ini, padepokannya Mbah Jenar atau Padepokan Umbul-umbul itu dibimbing oleh Mak Jujuk, putri tunggalnya. Tempat itulah kini tujuanku. Sekelebat, ingin kumenenangkan diri, memperdalam ilmu, dan temu rindu dengan guru rohaniku itu di sana.
Kendaraan pengangkut karyawan pabrik, melintas. Pak Salimin memang berbudi baik. Ia dengan ringan hati menyilakan kami duduk di depan sendiri. Kami pun meluncur bersama montor besarnya, menuju Desa Winongan, Pasuruan.
***
Roda montor yang berputar secepat gasing, membawa badan kendaraan menjadi gerakan secepat awan.
Tibalah kami disambut gapura gagah ketika memasuki Desa Winongan. Tanah tampak berlapiskan debu-debu kasar. Kanan dan kiri jalan, didempeti ijonya sawah yang menghampar. Beberapa hunian seperti berperang jarak, saling menjauh, seakan tiap petaknya ada satu gubuk saja. Beberapa kali pula, pandangan kami bergesekan dengan para pengontel sepeda yang tampak hilir mudik membawa jerami kering.
Kami merangkak tertatih-tatih. Baju yang melengketi kulit, hingga basah kuyup. Cahaya langit memang sedang heboh-hebohnya memanggang kepala.
“Yuk, masih jauh yah tempatnya?” keluh Yuk Ningsih sambil menahan kesumukan. Beberapa kali ia menyedot botol berisi air putih. Saking gerahnya, punggungnya pun ikut merembes keringat.
Kuusap derai basah yang memenuhi keningku dengan kain sapu tangan.
“Ah, itu rumahnya!” tudingku pada sebuah bangunan kuno bermodel Belanda.
Sebuah latarlebar menyambut. Teduhan pohon mangga, memayung. Sebuah becak dan beberapa sepeda ontel, berbaris teratur di muka bangunan bertembok putih itu. Sesosok wanita setengah tua, tertangkap tengah sibuk memagut melati di sekeliling pagar rumahnya.
Pelan, wanita berkerudung itu pun menoleh ke arah kami. Aku mendekatinya.
“Loh! Las?! Kamu?!” Ia mengernyit, tatapannya menjaring wajahku yang sudah layu sehabis diterpa cuaca kering di jalan.
“Ka, kamu?!”
“Mak Jujuk?!”