Malam datang menyelimut. Gelap mendekap. Langit menebar lintang gemilang. Aku melonjorkan badan di sebelah masjid jin seperti malam-malam sebelumnya. Ini adalah hari ke tujuh di padepokan.
Dalam kehampaan, hatiku mengingsar tak karuan. Bagaimana bisa, tangga asmaraku bersama Kang Yanto itu amblas? Tiba-tiba, sikapnya berubah sepulangnya dari Arab Saudi sana. Melarangku mengikuti kejawenan yang telah waris-mewaris sejak zaman dulu kala.
Mengapa maghligai suciku retak? Pecah seumpana mutiara terlempar hancur berkeping? Padahal, seingatku, dulu, Pak Moelyono sudah mencarikan hari baik untuk perkawinan kami.
Begitu pula bulan ketika mengikat tali akad. Kami menikah di bulan Besar. Orang-orang Sumberpitu ketika datang bulan itu, berbondong-bondong mengawinkan anaknya masing-masing. Alhasil, dalam sehari saja, bisa buwuh beberapa kali. Isi dompet pun ludes. Orang Jawa memang boleh menikah di bulan apa saja, asal jangan di bulan Suro, Mulud, Poso, dan Selo. Takut terimbas malapetaka atau kesialan katanya.
Tetapi, kenapa kami masih bisa berpisah? Padahal, kami menikah di hari dan bulan yang baik? Ah, entahlah, aku jadi berpikir, apakah hitungan Pak Moelyono mbeleset atau bagaimana?
Pikiranku mendayung-dayung.
***
“Nuwun sewu, nuwun sewu.” Sebuah seruan mirip Yuk Ningsih, datang.
“Yuk Las!” panggilnya. Kini, suaranya menjadi setengah berteriak. Aku menoleh. Bergegas ke depan.
“Loh, Yuk Ningsih?!” kejutku.
“Ayo kita pulang!”
“Loh, kenapa, Yuk?! Kok tiba-tiba sampean muncul ngajak aku pulang?!” Mataku mendelik terheran-heran. Istrinya Kang Darman ini tiba-tiba hadir menyusul.
“Nanti di rumah saja Ningsih jelaskan! Ayo, kita pulang sekarang! Penting!” Paksanya seperti orang kerasukan. Mukanya mengkerat biru.
Aku manut saja pada perempuan penakut ini, tanpa menaruh pikiran macam-macam seutas pun. Baru tujuh hari menginap di padepokan Umbul-umbul, aku sudah dijemputnya paksa.
Aku berlari ke belakang, berpamitan.
“Mak, Lasmini izin pulang dulu, yah. Wadah bajuku biarkan di sini. Takutnya Lasmini masih mau balik lagi.”
“Loh, kok tiba-tiba mau pulang kamu, Las?” tanya Mak Jujuk yang masih repot menyerok bebijian kopi di atas tumang. Aku tergopoh salim padanya. Meminta undur diri, lantas begitu saja melencing ke depan, menghampiri Yuk Ningsih yang sudah menunggu di tepi jalan.
Sinden bersuara merdu ini dengan tangan dinginnya menarikku, melangkah gesit kemudian ke mikrolet di simpang jalan.
Hati terus bergoncang tak menentu, seirama goyangan badan kendaraan yang terus saja menerabas terjalnya jalanan sepanjang Pasrepan-Tempuran, hingga sampailah di desaku, Desa Sumberpitu.
***
Turun di tepi embong besar. Disambut sebuah bangunan anyar milik Sulastri. Temboknya bercat putih, berlatar lebar. Wah, ternyata kliniknya sudah rampung.
Setiba kaki menginjak halaman rumah, aku terperah-pereh. Mataku bengong menyaksikan seatap terop tepat berjengger di depan istana megahnya Bu Saidah.
“Ada apa itu yah kok ramai-ramai?!” penasaranku.
Deretan kursi dan meja, serupa acara hajatan. Ada beberapa orang bergumul di altar rumah bertembok tinggi itu. Penasaran makin menggelinding ke dalam lubuk. Kok perasaanku jadi tidak enak begini, yah? ulang-ulangku tiada henti menahan pertanyaan yang terus saja menjejal di hati.
Dengan berjalan lamban, lelahku memasuki ruang depan. Tatapanku tak bisa lepas dari keramaian di rumah pedagang sembako itu.
“Mbok! Si Mbok!” panggilku meneriaki si Mbok.
“Loh, kok sudah pulang kamu, Nduk?!”