SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #25

Semanis Klepon

“He, Nduk. Kok tumben-tumbennya kamu ini nyapu masih kotor begini? Nanti suamimu brewok, loh!” gerutu si Mbok mengangkat cikrak berisi dedaunan yang sebagian tercecer di sekitarannya.

“Biarlah, Mbok. Brewok ‘kan lebih ganteng. He he,” celotehku tersenyum-senyum.

Jemariku menggores celak supaya pandanganku terkesan lebih tajam. Rambut kusisir rapi memakai serit. Sekalian, kalau-kalau ada kutu nyasar, supaya ikut terbuang. Benges semerah darah, siap kububuhkan ke bibir tipisku.

“Mau ke mana sih, Nduk? Pagi-pagi begini kok wes dandan?”

“Nggak pergi ke mana-mana kok, Mbok. Namanya juga janda muda. Biarlah menor seperti Yuk Ningsih. Lagi pula, siapa yang mau melarang-larang? Kang Yanto juga sudah tak mencintai Lasmini lagi!”

Si Mbok meludah kuah merahnya hasil mengulum pinang ke tanah. Aroma khas dari daun sirih, pinang, gambir, dan kapur, menguar khas memenuhi seantero ruangan.

Semenjak bertemu dengan juragan kayu Jumat legi lalu, entah mengapa, hatiku berbinar-binar. Laksana obor menyala terang di antara kegelapan malam. Menerangi kegelapan jiwa. Namanya Mas Zainal, orang Wonorejo. Kemarin, lelaki tampan itu sudah menengok kayu di kebunku. Ia setuju akan segera menebasnya.

Pagi ini, langit menampakkan wujud utuhnya. Warna biru melambangkan perasaan manusia. Dadaku menggelatak penuh debar. Terasa betul getar per getarnya. Bukan tanpa alasan, karena pagi ini, aku tengah menunggu seseorang datang. Yah, seorang lelaki yang tiba-tiba hadir membawa air segar di antara kehausan perjalanan. Ia berjanji, akan datang pagi-pagi sekali.

Segera kurapikan gabus bedakku, wadah celak, sido warna-warni, serit, semua kumasukkan ke kotak. Seuntai giwang, kukenakan demi memperelok penampilan.

Si Mbok tadi menyangking keranjangnya, pergi ke hutan. Rumah menjadi sepi.

Mas Zainal. Oh, Mas Zainal. Hadirmu seakan air menyirami taman berbunga yang dikelabuhi kupu-kupu warna-warni.

Tepat pada janjinya. Lekas kurapikan rokku. Kutata juntain rambutku yang panjang ini, lekas-lekas.

“Eh, Mas Zainal?! Datang sendirian, yah?” sambutku deg-degan dahsyat. Jantung ibarat meriam siap meledak.

Lihat selengkapnya