SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #28

Ari-Ari Segar

Aku membantu Dek Sarpiyah melahirkan. Ari-ari berlumuran cairan merah, kucuci bersih di gentong belakang. Setelah tak berlumuran lagi, lantas kumasukkan ke gendhok kecil dengan terlebih dahulu kubungkus dengan daun pisang. Lalu kutaburi garam dan bunga tujuh rupa. Segali tanah di teras, sudah siap memendam kawan si bayi itu.

“Mak, mulai nanti malam, atasnya jangan lupa diberi damar cempluk, yah!” pesanku pada emaknya Dek Sarpiyah itu sambil kumenaburkan kembang mawar di atas pendaman si ari-ari.

“Iya, Nduk. Matur nuwun yah sudah menemani Sarpiyah sejak tadi."

Angin sore terasa mengipas-ngipas lembut. Jarum jam mengarah ke angka empat sore.

“Wah, di rumah ada tamu rupanya?!” kejutku. Aku tergopoh-gopoh. Segera saja kubalikkan badan, kembali ke rumah. 

“Eh, ada tamu?!” kagetku melanjut. Ternyata, Mas Zainal datang bersama beberapa orang pria.

Sampean kok nggak manggil Lasmini kalau ada tamu, Mbok?!” sesalku.

Penampilanku masih acak mawut.

“Sudah nyuruh Didin tadi, Nduk!” kilahnya.

“Kalau begitu, Lasmini ganti baju dulu!” pamitku. Akan tetapi, tanganku ditarik Mas Zainal.

“Tidak usah ganti, Mbak. Duduk saja di sini!” pintanya membuat hatiku rontok. Aku menunduk sembari menghadang aroma tubuhku yang sedikit lebus.

Dalam degup keraguan, akhirnya aku meletakkan diri sambil menanggung kesungkanan. Berusaha agak menjauh, khawatir kalau-kalau bau tubuhku akan membuat Mas Zainal merasa tidak nyaman.

“Kedatangan kami mendadak. Barang tentu, keinginan kami juga mendesak. Jika berkenan, besok pagi-pagi sekali, kami berencana akan mengawinkan Mbak Lasmini dengan Zainal,” ungkap seorang pria setengah tua, salah satu dari mereka, melontarkan kalimat mencengangkan tanpa berbasa-basi dulu layaknya orang desa pada umumnya.

Pandanganku langsung melongo. Apa yang sebenarnya mereka maksud ini?!

Si Mbok memandangiku, cekat.

“Se, secepat itu?!” tanyaku penuh keraguan.

Tubuhku serasa naik turun suhunya. Rongga dada kosong tiba-tiba.

“Iya, Mbak. Saya ingin secepatnya menikah.”

“Lah, Sampean ini nggak bercanda ‘kan, Mas?”

“Nggak, Mbak. Nggak bercanda. Yakinlah, Mbak! Lebih cepat lebih baik. Saya juga nggak mau menduda terlalu lama. Insya Allah, Mbak Lasmini mantap menjadi jodohku.”

Dua mataku sembab.

Secepat inikah anugerah itu datang, Ya Allah. Sekilat inikah lelaki yang baru kukenal itu mengajakku menikmati dunia sesungguhnya? Yaitu hidup berbahagia bersama pasangan yang saling cinta mencinta? Lalu, menapaki biduk istana suka dan duka? Saling menghangatkan? Saling menyejukkan? Saling menguatkan di kala lemah? Duh, Gusti Allah. Apakah mereka ini sungguh-sungguh atas apa yang mereka utarakan itu?

“Bagaimana? Apakah Mbak Lasmini bersedia kami nikahkan besok pagi? Jika iya, malam ini juga seserahan akan kami hantar,” janji mereka. Aku terus saja memagut ketegunan. Lidah sulit kugerakkan. Sungguh, seperti seorang putri yang tersesat di dunia dongeng. Tak kunyana, Mas Zainal ternyata juga menyukaiku, dan langsung menawariku menjadi istrinya. Cepat, secepat kilat menyambar-nyambar tanpa ada hujan ibaratnya.

“Kata orang-orang Jawa, perempuan yang diam itu artinya berkata iya,” sahut seseorang lagi yang duduk tepat di sebelah Mas Zainal dengan seringai senyuman panjang.

Malu-malu kucing. Aku menekuk leher. Mulut sungkan mengucap kata "iya". Namun, aku tak bisa menyumpal suara hatiku sendiri. Wanita mana di ujung dunia ini yang tidak terpesona akan pria yang berwajah bak mutiara ini. Melihatnya saja, seolah dua binar mataku bergetar-getar hebat.

“Bagaimana, Mbak?” pungkas Mas Zainal memandangiku dengan tatapan meyakinkan.

Lihat selengkapnya