Berbaring sejenak dalam dekapan malam. Fajar menyingsing begitu cepat membangunkan. Sinar mentari menghangatkan bersama terop sewaan. Serba mendadak, serba cepat. Entah anugerah apa ini namanya? Acara persiapan begitu lancar. Cak Bambang, pemilik grup ludruk, sudah datang membawa aneka perkakasnya.
Aku dipingit sejenak dalam kamar sebagai syarat. Mempelai wanita tidak boleh keluar apalagi ikut tandang gawe. Haram hukumnya manten keluar sebelum pesta benar-benar usai.
Yuk Ningsih mulai memoles-moleskan serbuk bedak ke wajahku. Alis ia kerik njelirit laksana runcingnya celurit. Hidung ia garis-garis supaya berkesan mancung. Celak ia bubuhkan. Alis ia tebalkan. Bulu mata ia pasangkan. Bibir mengoles warna tebal. Kelopak mata diberi goresan sido warna-warni. Pipi juga dikuas merah merona. Rambut diolah sedemikian rupa, disemprot hingga kaku keronta.
Pagi ini, akad nikah saja. Urusan daftar ke penghulu, kata keluarga Mas Zainal, menyusul besok-besok saja, karena semuanya serba mendadak.
Dari bilik kamar, aku hanya bisa menangkap kesibukan rewang memasak di belakang. Depan rumah, suara terop mulai ditegakkan. Aku jadi teringat tatkala Didin sunatan dulu. Yah, semoga saja acara mantenanku ini lancar, tidak terjadi apa-apa.
Aku masih meringkuk. Dandan berjam-jam. Hingga akhirnya, kudengar nada ijab kabul dari depan.
Merdu sekali suaranya Mas Zainal. Ketika ia mengucap janji sucinya, hatiku luluh lantak. Diiringi kembang bermekaran ria. Kuncup-kuncup bahagia pun bersemi. Kusambut semua itu dengan deraian keharuan.
Alhamdulillah, mulai detik ini, aku resmi disunting oleh lelaki tampan nun gagah perkasa itu.
Sujud syukur atas segala karunia-Nya. Betul apa kata pepatah, bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian.
Aku bahagia tiada kepalang.