Kepala geliyeng. Badan tumbang di kasur. Sejak kejadian pilu kemarin, mumetku tidak hilang-hilang. Semakin dirasa, semakin berat saja. Balsam satu botol pun habis mengurut leher hingga dahi. Meriang. Ingin muntah tetapi tidak bisa. Perut kembung semacam balon ditiupi angin.
Budhe Wati baru saja pulang menjenguk. Segelas jahe panas, ia geletakkan begitu saja di meja. Belum kuteguk.
Rumahku ini yang kemarin ramai acara mantenan, kini senyap. Sesepi hutan Mbulu. Didin anakku, pergi ke sekolah. Si Mbok memetik lombok di kebun selatan. Kini, tersisa diriku seorang diri di dalam rumah.
Duh, Gusti, kenapa hidup Lasmini semenderita ini? Seburuk ini? Sesial ini? Sesedih ini? gumamku meratapi nasibku sendiri sembari memeluk bantal yang kuhempas dalam-dalam ke dada.
“Mbak Sri, Mbak Sri!” panggilku mendadak rindu pada jin prewanganku itu. Ia jin yang baik. Dialah yang dulu menyelamatkanku dari kejahatan wewe gombel. Dan kini, ia hilang entah ke mana.
“Di mana sampean, Mbak Sri? Sudah lama kita tak saling bersua?” pelanku setengah sadar. Kepala terus saja berputar riang. Langit-langit rumah seakan bergoyang-goyang.
Seembus napas lalu menghempas. Berat. Mengeluarkan apa saja yang tertanggung di dalamnya.
“Ya Allah Gusti!” desahku lagi.
Mata setengah memejam. Kepala menanjak membawa bobotnya. Cenat-cenut tak tertahankan. Ubun-ubun layaknya dipalu beratus-ratus kali ketukan. Nyut nyut nyut nyut.
“Nuwun sewu.” Datang suara menyapa, tiba-tiba.
Suara perempuan menyempring lirih.
Tergagap-gagap. Aku membuka pandangan.