Satu mug kunci suruh kuteguk tanpa sisa. Jamu khusus wanita ini hasil dari tangan Yuk Ningsih. Kami berhadap-hadapan di ruang tamu, bersiap-siap ke rumah Bu Saidah. Akan tetapi, wanita pemain ludruk ini malah terdiam sedari tadi.
“Yuk, muka sampean kok pucat begitu?” tanyaku merasakan jemariku sendiri mulai basah.
Wajah wanita ini memutih seakan kehilangan darah. Bola matanya mendelik tajam. Ia kemudian tiba-tiba menekuk lehernya, melirikku dengan tatapan sangar.
Bertambahnya detik, makin pasi saja mukanya. Rambutnya ia urai layaknya orang gila.
Ia lalu keluar ke halaman. Kuikuti derapnya.
“Yuk, mau ke mana?!” kejarku.
Nadiku semisal memompa darah dengan kecepatan tinggi.
Si Mbok dan Emak terlihat menyusul. Bapak datang dari ujung utara jalan.
“Yuk! Sampean mau ke mana?!” teriakku hingga sekelompok emak-emak yang tengah menguliti jagung di rumahnya Mak Tinem, ikut terperangah.
“He, kenapa itu si Ningsih sempoyongan begitu? Kesambet, yah?!” Mereka saling beradu tanya.
Wanita yang tiba-tiba bersikap aneh tersebut melangkah kilat hingga akhirnya, tubuh bahenol-nya berdiri tepat di depan rumah Bu Saidah. Lantas, ia kembali menusuk pandangan ke arahku.
“He! Lasmini! Kumpulkan orang-orang kampung! Panggil juga Pak Kasun!” Suara serak keluar dari mulut lebar Yuk Ningsih. Tubuh pemain ludruk itu sepertinya betul sedang disetir oleh jin.
“Siapa sampean? Berani-beraninya merasuki tubuhnya Yuk Ningsih?!” tanyaku.
“Saya keluarganya Mbak Sri! Cepat! Jangan banyak tanya! Panggil semua orang dusun!” bentaknya sekali lagi, menggetarkan nyaliku. Sekonyong-konyong, orang-orang berdatangan menggendong kehebohannya masing-masing. Warga mendekati Yuk Ningsih satu persatu, tanpa harus kuundang.
Rumah si wanita tua itu masih tertutup rapat. Di tokonya tidak ada kegiatan sejak dua hari yang lalu. Semenjak Emak dan Bapak kembali, diriku jarang melihatnya menampakkan diri. Entah, berada di mana wanita bermulut api itu?
Udara terus mencekam ganas. Kang Kardiono, Pak Dhe Wito, Budhe Wati, dan kebetulan Pak Moelyono sedang lewat. Sepertinya, sudah cukup komplit. Kami menunggu bersama perasaan mawas masing-masing. Apa kiranya yang akan dipola tindakkan oleh jin yang merasuki tubuh Yuk Ningsih ini?
“Hemmm, hemmm, hemmm, arrrggg!” Jin itu mulai menggeram bagai mulut macan kelaparan.
Memakai telunjuknya, ia menarik kami mendekati rumah bertembok tinggi itu.
Tanganku dipegangi Emak, erat-erat. Si Mbok pamit mencari Didin. Takut, kalau terjadi apa-apa yang lebih berbahaya.
Suasana berlanjut makin memanas.
“Gedor pintunya!” perintah Yuk Ningsih dari alam bawah sadarnya. Sorot matanya tampak menghitam legam. Seraya menahan ketakutan tidak jelas, kami mengekori langkahnya.
Berhasillah kaki kami bertumpu tepat di depan pintu rumah Bu Saidah.
“He, Saidah! Keluar kamu! Cepat!” Teriakan maha keras.
Para wanita yang pulang dari sungai pun, tak luput ikut merapat menyaksikan semacam pentas nyata yang digelar di siang bolong.
Yuk Ningsih berdiri lurus. Jin masih menguasai penuh urat nadinya.
“He, wanita busuk! Keluar kamu!” perintahnya sekali lagi. Namun, orang yang tak berperi hati itu tak kunjung menunjukkan hidung peseknya. Rumahnya masih terkerubungi rapat. Jendela-jendelanya semua terkunci. Aku separuh tidak yakin. Jangan-jangan, rumahnya memang kosong sejak kemarin. Atau, ia dan keluarganya sudah kabur ke Malang sana?
Para penonton memasang muka penasaran masing-masing.
“Cepat, tunjukkan dirimu wahai Saidah! Keluar kamu! Atau akan saya bakar rumahmu!” Terdengar nada semakin meninggi. Jantungku seolah berhenti mempompa saking cengangnya.
Gerantak dari kaki Yuk Ningsih, kembali menakut-nakuti para hadirin.
Kami senantiasa sigap menunggu. Bu Saidah keluar atau tidak, kami masih setia menanti.
Lama ditunggu-tunggu, hingga, muncullah Kang Yanto mengendarai sebuah montor pikep bersama si Rodiyah dan Sulastri, dari arah timur.
Mereka begitu saja menginjakkan kaki dengan langkah kaget tiada kira. “Ada apa ini kok ribut-ribut?!” Sulastri memutar-mutar matanya, memaparkan wajah ketakutannya ke segenap pasang mata.
“Ada apa yah kok banyak orang?!” kaget Rodiyah si perampas suamiku itu turut melempar tanda tanya. Ingin sebetulnya kudamprat perempuan berjilbab warna-warni itu. Namun, serasa diriku tidak berdaya. Aku tidak bisa berbuat sekasar itu pada sesama perempuan.
Dari lubuk kalbuku terdalam, sebetulnya, aku masih menaruh rasa pada Kang Yanto. Tetapi, kebencian seolah mengalahkan cinta, kekuatan cinta itu pun kandas, sekandas karang yang terhempas ombak lautan.