Burung-burung camar berlarian kepada senja. Kuningnya menyapu sehampar langit yang mulai gelap ditinggalkan sang mentari.
Sulastri baru bangkit dari mimpi panjangnya. Sementara, Yuk Ningsih nekat ikut bersama kami ke pendopo. Walau tubuhnya setengah terhuyung, ia tetap angkuh menemaniku. Sepanjang tapak, tak hentinya ia mengumbar keheranan, mengapa ia yang dirasuki jin? Mengapa bukan orang lain?
Kami beramai-ramai mengarak Bu Saidah ke pendopo. Di sana, sudah menunggu sang pemimpin desa. Si tersangka, digandeng Rodiyah, adiknya. Suaminya yang bernama Agung pun turut serta mengantar istrinya ke meja pendedasan. Adat warga Sumberpitu, jika ada yang tertuduh kejahatan, pasti dibawa terlebih dahulu ke pendopo guna meminta pendapat dari sang pepimpin desa. Nantinya, akan dilanjut digiring ke kantor polisi atau tidak.
“He, Dukun santet! Ha ha ha.” Teriak anak-anak girang meledek.
Si wanita tertuduh menyembunyikan wajah di balik kerudung hijau. Puluhan warga ikut membuntuti. Bagai arak-arakan 17-an. Sepanjang jalan, sorak-sorai warga menggelora.
“Weeee, dukun santet, wee!” teriak ibu-ibu juga ikut mengejek.
Demi keamanan, dua hansip berbaju hijau menggamit tubuh si tersangka dari kanan dan kiri. Tepat di belakangnya, Pak Kasun ikut mengawasi.
Sampailah kami di bawah atap tinggi bermodel rumah joglo. Berdiri wibawa Pak Kades dengan kumis tebalnya. Ada juga Pak Carik di situ.
“Bawa masuk dulu! Saya akan bicara dengannya.” Pak Kades meminta Bu Saidah untuk menyusup ke ruangan khusus. Kami serimbun pangantar, hanya bisa membasahi bibir dengan ludah keraguan. Pak Kades dan Bu Saidah, entah keduanya mau berbincang apa.
“Semoga dia dapat balasan yang setimpal. Dikurung selamanya di penjara! Mati di penjara kalau bisa!” harapan Yuk Ningsih dengan setengah mengomel.