Pagi-pagi, kukuatkan hati. Menata segala kemungkinan yang akan terjadi. Ibarat getir kutelan mentah-mentah lalu kumuntahkan. Biarlah Didin saatnya paham siapa dirinya sebenarnya.
“Saya sudah siap, Yuk,” ucapku menarik udara segar desa, udara memasuki hidung, kutahan, hingga menjadi hangat dalam rongga pernapasan, lalu, kulepas pelan-pelan.
“Jika sampean sudah siap, inilah saatnya semua orang tahu,” bisik Yuk Ningsih sahabatku mendorong jiwaku untuk lebih kuat lagi.
Orang-orang terdekat kuajak. Keluarga inti, Pak Moelyono, Budhe Wati, Pak Dhe Wito, semuanya kutarik menuju rumah Bu Saidah.
Di rumah orang sakti mandraguna itu, kemeriyek orang menengok sakitnya si Sulastri yang kian waktu kian parah. Menurut tetangga-tetangga, bidan muda itu seringkali kejang-kejang dan terkadang memuntah liur berbusa.
Aku tidak terlalu paham ia terkena penyakit apa. Tahuku, ibunya termasuk orang yang kebal. Dugaan apa pun tidak akan mampu mengikatnya selama pemimpin desa berada tegap di sisinya, membela.
“Aku sudah siap sekarang!” teguhku.
Bapak terlihat linglung. Semenjak tadi, ia mendedasku dengan aneka cara. Namun, kubilang, ini demi masa depanku, Didin, dan tentu keluarga. Supaya semuanya terang dan tidak ada lagi yang patut disamarkan.
“Sebenarnya, kamu itu nyimpan rahasia apa sih, Las?” Pertanyaannya kembali mengulik-ngulik seakan memundurkan niatku. Tetapi, berusaha kumajukan niat ini hingga kedua kakiku berhasil menginjak halaman si wanita asal Malang.
“Bu Saidah, keluarlah!” panggilku. Seperti biasa, mengundang tetangga berduyun.
“Ada apa lagi?! Jangan menyulut masalah lagi, yah! Saya sudah capek berurusan dengan kalian!” sahutnya keluar bersama si Agung, suaminya. Dari belakang, Kang Yanto dan Rodiyah ikut berdiri menyaksikan kembali kedatanganku setelah kemarin membongkar rahasia kamar terduga tenung itu.
“Saya akan mengungkap sebuah kejadian di masa lalu!” jelasku sambil mengeraskan otot-otot wajahku. Kepala seakan mendidih tatkala bayang-bayang peristiwa itu datang. Hatiku menangis, meronta, menjerit, pedih, saking sakitnya hati ini rasanya. Tak kuasa lagi kusimpan walau sudah bertahun-tahun kutahan.
Air dukaku jebol. Kuusap dua binar mataku.
Bu Saidah terlihat menguncit mulutnya tumpul-tumpul.
“Duh, saya sibuk, yah! Kalau nggak penting, mending kamu pulang saja!” tolaknya sengit. Rambut putihnya ingin kujambak-jambak saja. Kesal. Kulit mukanya keriput, tapi kejahatannya seakan tidak memandang umurnya.
Kuliriki si Agung, bapak-bapak tua itu seperti lelaki setengah waras. Menghadapi kedatanganku, ia malah repot menyalakan ujung rokoknya dengan korek kapuknya. Asapnya ia sembur ke segala arah, berputar, lalu asap itu lenyap. Tak menghiraukan keberadaanku sama sekali.
Aku menoleh ke sekeliling. Raut-raut muka keluarga, kuperhatikan satu persatu. Emak menyembunyikan tangisnya, si Mbok bermuka muram, Bapak dan Budhe Wati, meneliti tiap detik kata yang keluar dari mulutku.
Hening, namun tegang. Laksana suasana pertandingan dua pasukan yang saling menjaga senjatanya masing-masing.
Titik demi titik tangis menderas. Semoga, ini adalah air terakhir yang kualirkan untuk si wanita bengis itu. Selepas ini, semoga ia sadar, bertaubat, atau tidak menggangguku lagi.
Kusedot dalam-dalam udara pedusunan. Mulut kubuka pelan-pelan. Kalimat kutata rapi, siap mengurai untai per untai.
“Tolong, semuanya dengarkan apa yang akan Lasmini uraikan ini,” lirihku dengan mengusap kembali mataku. Airnya merembes, menghangati pipiku yang cekung.
Rona cemas semakin tergurat di wajah Emak.
“Langsung ngomong saja kamu, Las! Tidak usah kebanyakan gaya! Kebanyakan mbacot kamu itu memang!!!” hardiknya kembali menudingku.
“Baiklah.”
Aku bercerita, bertahap:
“Ketika itu ... suasana dusun sepi. Aku pergi merumput di kebun seorang diri. Setelah dapat satu ikat, aku mengambil botol minuman di tengah gubuk.
Aku lalu duduk termenung sambil menikmati semilirnya udara. Suara gemerasak semak, kemudian terdengar tiba-tiba. Aku langsung bangkit. Khawatir, kalau-kalau ada ular datang menyerang.
Namun, tak kusangka-sangka. Dada seolah disambar petir di siang cerah. Aku terjingkrak. Muncul tiga orang berselubung ninja, datang menyergapku.
‘Siapa kalian?!’ teriakku menghalau sergapan mereka. Mulutku gemetaran.
‘Mau apa kalian?! Aaaah! Lepaskan!’ jeritku kemudian.
Aku lalu mengejang. Segenap gerakan sendi, kugunakan membela. Tangan kuhempas-hempas ke segala arah. Kaki menendang bebas. Aku berteriak sekeras-kerasnya meminta pertolongan.
‘Tolong! Tolong!’ Teriakku tiada hentinya.