SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #36

Tumbal

Langit mulai memecahkan esnya menjadi titik-titik kesegaran. Kilat mengacung-acungkan amarahnya. Hujan tumpah ruah membasahi bumi. Tanah yang semula keronta, sore ini diguyur lebat. Aroma tanah basah, adalah aroma yang senantiasa membawa kesejukan.

Suasana seperti inilah yang kudamba-dambakan. Si Mbok terlihat memenuhi gentong dari beberapa jerigen yang ia ambil dari sumber Terincing. Bapak menyesap kopi berteman dengan rokok bakaunya.

“Oh yah, Las. Kata orang-orang, keadaan Sulastri semakin parah saja, yah,” cerita Bapak memecah suasana kehangatan.

Mengingat keluarga Bu Saidah, rasanya diriku sangatlah malas. Ingin kulupakan saja mereka.

Butiran hujan masih lanjut menggemuk, kian menghantam bumi, lalu mengalir cepat menyelami selokan-selokan.

“Kita jangan mbahas Bu Saidah lagi yah, Pak. Tidak penting dia itu. Yang terpenting saat ini adalah; Lasmini bisa hidup berbahagia bersama Didin, Emak, Bapak, dan si Mbok. Kebahagiaan keluarga seperti inilah yang menurut Lasmini tidak bisa digantikan dengan kemewahan apa pun walau semisal dengan rumah berlapiskan emas dan mutiara sekali pun.”

“Iya betul itu, Las,” jawab Bapak mendukung kalimatku.

Emak kemudian datang dari belakang, mengabari kami. “He, nasinya sudah matang ini. Ayok, kita makan bareng-bareng di amben. Nasi jagungnya panas ngebul-ngebul itu. Ada sayur godhong pohong, godhong kates, grengsengan daun talas, sambal teri, sambal terasi, lalapan kemangi, pete, timun, mendol kentang, ikan asin, wes pokok e uakeh! Ayok, kita makan bareng semuanya!” ajak Emak membuat kami ngiler. Amben yang terbuat dari bambu berukuran luas itu menjadi lahan santapan buas. Kami makan dengan lahapnya. Bapak dan si Mbok sampai nambah-nambah.

“Alhamdulillah, nikmat sekali, Mak. Hujan-hujan begini, makan bareng. Nasinya puanas. Sambelnya puedes pol.

***

Tetesan langit telah berhenti. Aku menuju rumahnya Kang Kardiono. Sudah ada Ustadz Jainuri di sana. Bapaknya Sulik itu, katanya, dirasuki jin. Anaknya belum terlalu waras, malah bapaknya kini yang terimbas.

“Ya Allah Gusti!” Aku menepuk dada kuat-kuat menyaksikan duda beranak tiga itu dipegangi erat oleh sang ustadz perukyah.

Bola mata Kang Kardiono meloncat-loncat. Suaranya menggeram amukan. Tubuhnya kaku membatu.

“Siapa kamu?!” tanya ustadz guru ngaji itu menanyai paksa si makhluk halus.

“Saya jinnya Saidah!” jawabnya terang-terangan.

“Jinnya Bu Saidah?!” kagetku.

“Betul apa yang kamu katakan itu?!” tanya Ustadz Jainuri setengah menyentak.

“Yah! Saya adalah jinnya Saidah!”

“Kenapa kamu mau diperbudak?” Ustadz Jainuri bertanya dengan terus terang.

“Karena dengan memperbudakku, dia akan mengikuti jalanku!”

“Jalan apa yang kamu maksud?!”

“Jalan kesesatan!”

“Jadi, kamu yang selama ini ganggu Lasmini dan orang-orang sekampung?!” dedas Ustadz Jainuri sambil menarik-narik kaki Kang Kardiono.

“Betul!”

“Lantas, siapa yang merasuki Sulik?” tanya Ustadz Jainuri melanjutkan.

“Yah, jinnya Saidah juga. Dia itu sengit pada Suwati, sampai cucunya terkena sasaran,” jawab si jin.

“Lalu, apa kamu juga tahu siapa yang merasuki anaknya Yuk Kartiwik?” tanya Ustadz Jainuri menanyakan semuanya.

Mata Kang Kardiono kembali membola.

“Dia diganggu jin yang juga atas suruhan Saidah! Sudah, kalian jangan banyak tanya!” sentaknya membuat gemetaran seisi rumah. Kecuali guru ngaji berpeci putih itu mengorek habis tentang semua hal atas gangguan jin di Desa Sumberpitu.

“Mak Sukayah mati perutnya membusuk dan Mak Tinem sakit mendadak, apakah semua itu ulah Bu Saidah?”

“Yah! Ulah si Saidah semua!”

Ternyata, biang kerok semuanya ini memang betul berada di tangan wanita biadab itu.

“Yah, sudah! Keluar kamu!” suruh Ustadz Jainuri menarik ubun-ubun Kang Kardiono.

“Tidak!” jawab Kang Kardiono menolak perintah sang ustadz dengan getakan keras.

“Jika kamu tidak mau keluar, akan saya bakar kamu!” ancam beliau.

Ustadz Jainuri lalu memantrakan doa. Badan Kang Kardiono menyambutnya dengan liukan kepanasan.

“Arrggg! Arrrggg!” Menggeliang mirip cacing terbakar matahari.

“Cepat keluar kamu wahai makhluk terkutuk!”

“Hemmm, hemmm, aaarrrggg!” Berontaknya semakin liar saja.

“Keluarlah kamu wahai jin laknat! Jangan mengganggu manusia lagi!” Gertakan Ustadz Jainuri menyeblak-nyeblak. Bapaknya si Sulik itu akhirnya melunglai, tubuhnya ambruk ke tempat tidur. Merem.

Mulut-mulut pun menguarkan irama cepat. Mengutuk Bu Saidah hidup-hidup.

“Geruduk saja rumahnya! Kita bakar ramai-ramai!” teriak warga naik darah. Sebagian sigap mengambil batu, celurit, dan gagang kayu.

“Tolong, jangan main hakim sendiri!” cegah sang pemilik langgar menghalangi langkah tak sabaran dari para khalayak.

Lihat selengkapnya