Sang surya akhirnya terangkat kembali seusai langit muram kemarin sore. Pagi-pagi sekali, aku berkutat di pawon.
“Las, Lasmini?”
Datang suara mengagetkan dari depan. Aku repot menggoreng kacang untuk kubuat bumbu pecel. Kencur, bawang putih, cabai rawit, gula merah, asam matang, dan daun jeruk, berkumpul di tengah-tengah cobek.
“Siapa, yah?” tolehku.
Aku mendongak. Lantas, melangkahkan kaki ke ruangan depan.
“Eh, Kang Ya Yanto?!” Tertatih diriku menahan kejut.
“Saya boleh masuk, Las?”
“Bo, boleh, Kang,” jawabku gugup gemetaran.
Melihat ada orang di depan pintu, Bapak menyela dari belakang menghampiri. Ia pandangi rupa Kang Yanto dari ujung kaki hingga nyaris ke kepalanya.
“Kamu Yanto, yah?! Mau apa kamu kemari?!” tanya Bapak bernada kaku.
Kucubit lengan Bapak supaya tidak sekaku itu logatnya. Hatiku mendadak diembusi hawa sejuk tatkala memandang rupa Kang Yanto yang segar ini.
“Iya, saya Yanto, Pak.” Lelaki berambut lurus ini menunduk.
“Oh, jadi kamu yah yang selama ini membuat Lasmini menderita?!” senggrang Bapak nadanya meninggi. Kembali kuberi tanda. Kaki Bapak kuinjak pelan. Namun, tak kunjung merasa.
Kang Yanto masuk mendekati kursi tanpa dipersilakan.
“He, Yanto! Kalau kamu mau ngopi, ngopi saja di pasar sana! Lasmini nggak punya kopi! Sudah habis semuanya!” Bapak malah mengeluarkan bentakan kasar.
“Bapak,” pelanku merasa sangat tidak enak. Kang Yanto mukanya menjadi layu. Ia merunduk kembali. Hatiku berdebar-debar. Apa gerangan yang membuat lelaki bermata bulat ini menyambangiku setelah sekian waktu pergi?
“Maafkan saya, Pak, jika selama ini membuat Lasmini tidak bahagia,” ungkapnya merontokkan dinding kalbuku. Ruang hatiku merongga-rongga tatkala menyebut namanya dengan getaran penuh kerinduan. Lama tak bersua, cinta serasa cepat bersemi kembali.
“Halah! Buat apa kamu minta maaf! Tidak ada gunanya lagi! sudah terlambat!”
Bapak kembali melontarkan kalimat kasarnya.
“Sekali lagi, saya minta maaf, Pak.”