Last Fairy

gdnightiris
Chapter #8

Efek Serbuk Hitam

TRING… TRILING… 

Gemerincing misterius tiba-tiba terdengar, mengusik keheningan dunia yang selama ini menyelimutinya. Berulang dalam tempo pelan, volumenya rendah.

TRING… TRILING…

Meski lembut membuai, pertanyaan tentang Bagaimana aku bisa mendengarnya? adalah hal yang memaksa Mentari untuk berusaha membuka mata. Tak peduli kantuk masih merekatkan setiap kelopaknya. 

TRING… TRILING…

Mentari baru saja berhasil membuka kedua matanya. Sebuah tempat asing lain, kini berada tepat di hadapannya. Tempat yang meskipun hampir sama redup dengan tempat dalam mimpinya, tapi suasananya sangat berbeda.

Kedip cahaya merah yang entah dari mana asalnya, sesekali menerangi wajahnya, berselang di antara gemerincing yang seolah tengah menari di udara. Biarpun penasaran dengan asal kedip cahaya merah itu, Mentari lebih penasaran dengan bagaimana Ia bisa mendengar gemerincing itu. 

Hampir sepuluh tahun berlalu sejak telinganya berhenti mendengar suara, Mentari nyaris asing dengan gemerincing yang tiba-tiba di dengarnya. Bukannya tidak memiliki sebuah terka, Ia merasa lebih yakin dengan langsung memastikan dengan mata, persis apa yang telah selama ini dilakukan selama menjalani hidupnya.

Pertama-tama, Mentari hendak beranjak agar bisa leluasa mengedarkan pandangannya. Bagaimanapun posisi berbaring menyamping dengan nyaris menelungkup seperti itu, tidak memungkinkannya untuk melihat apapun selain pemandangan ruang kosong yang ada di hadapannya. 

Namun, seolah dingin yang merayap dari bawah lantai telah membekukan tubuhnya, Mentari tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan setelah beberapa kali berusaha, tak sekalipun Ia berhasil melakukannya. Kalaupun ada gerakan kecil yang berhasil dibuatnya selain mengedipkan kedua mata, gerakan itu hanyalah sekedar menggerakan ujung jemarinya. 

Apa yang telah terjadi?

Menghentikan sementara usaha untuk menggerakan tubuhnya, Mentari mengalihkan sisa tenaga untuk mengingat sesuatu yang terjadi sebelumnya. Meski begitu, jauh sebelum Ia sempat mengingat sesuatu, bayangan seseorang tahu-tahu sudah memenuhi matanya. 

Siapa orang itu? 

Seorang laki-laki berbaju hitam yang hanya terlihat bagian punggungnya saja itu, tampak tengah berjalan pergi meninggalkannya. 

Apa aku mengenalnya? 

Dua kali mengedipkan mata untuk memastikan penglihatannya, Mentari berusaha keras untuk mengenalinya. Namun, alih-alih berhasil mengenali sosok laki-laki itu, satu hal yang berhasil ditemukannya justru adalah sebuah suara lainnya.

"Bisakah setidaknya kamu melepaskan benda ini?"

Suara lirih seorang perempuan yang meski tak bisa Ia lihat wujudnya, tapi telah membuat laki-laki berpakaian hitam di muka pintu itu lantas memalingkan wajah ke arahnya, Mentari yang tengah diam-diam mengamatinya. 

Reflek, Mentari menutup kedua matanya. Meski begitu ingin melihat wajah laki-laki itu untuk memastikan, apakah Ia mengenalnya, Ia memilih untuk menghindarinya. Bukan hanya kepada laki-laki, yang menyimpan kemungkinan lebih besar tidak pernah dikenalnya itu, menghadapi orang baru selalu tak mudah untuknya, mengingat itu memanglah sifatnya.

“Kamu mungkin tidak pernah tahu seperti apa rasanya, tapi benda ini benar-benar membuatku tersiksa."

Mentari membuka kembali matanya, ketika suara itu kembali terdengar olehnya. Meski begitu bukan karena suara perempuan itu, kali ini sebuah kejanggalan yang baru disadarinya setelah menutup mata adalah penyebabnya.

“Atau, setidaknya tolong lepaskan salah satunya saja, ya?"

Bukan hanya dingin yang merayap keluar dari lantai, yang sebenarnya telah membuat tubuhnya jadi tak bisa digerakkan. Tiba-tiba Mentari merasa adanya sebuah benda dingin yang entah sejak kapan telah mengikat erat pergelangan kakinya. Benda yang seolah-olah adalah benda yang sama dengan benda yang dimaksudkan oleh perempuan pemilik suara.

“Satu saja sudah lebih dari cukup untuk membuatku tidak bisa bergerak, apalagi pergi mendekati pintu itu.”

Selain itu, disana, laki-laki itu terus menatapnya. Seolah-olah Ia lah Si Pemilik Suara. 

Entah, apa yang sebenarnya telah terjadi?

Mentari menutup kembali kedua matanya. 

Kenapa laki-laki itu terus menatap ke arahku, seolah-olah aku lah yang sedang berbicara?

Mencoba untuk memahami situasinya lebih jauh lagi. 

Lalu, kenapa aku juga bisa merasakan apa yang tengah dikatakan oleh suara itu?

Hingga ikatan yang tengah melingkari pergelangan kakinya terasa berubah jadi lebih erat dari pertama kali Ia mulai merasakan keberadaan benda itu.

Argh...

Lihat selengkapnya