Uap tipis mengepul keluar dari sebuah cangkir keramik, begitu Biru menuangkan air panas ke dalamnya. Tiga helai daun bewarna merah, yang sudah lebih dulu berada dalam cangkir keramik tersebut, perlahan-lahan mulai berubah merah warnanya.
Bersamaan dengan itu, aroma khas yang menenangkan menguar, memenuhi setiap sudut dapur tempat laki-laki itu berada. Persis kekhawatiran yang tersimpan dalam hatinya, sejak percakapan terakhir dengan Peri yang mengaku bernama Luna pagi tadi.
"Lalu, bagaimana dengan perempuan itu?"
"Maksudku, perempuan yang sedang bersamaku malam itu."
Tiga hari berlalu sejak hari itu. Hari ketika Biru membawa Luna ke Kedai Sinar Bulan. Laki-laki Keturunan Si Penebang Pohon itu masih mengingat semuanya dengan jelas.
"Malam itu, kamu sendirian.”
Seperti sebuah petunjuk yang lebih dulu Biru dapatkan, Luna yang ditemukannya malam itu hanya sendirian.
“Tidak ada satu perempuan pun yang kulihat berada di dekatmu pada malam itu…”
Bahkan, tidak juga Si Rambut Merah yang telah memberinya petunjuk untuk datang menjemput Luna di tempat itu.
“Kamu hanya sendirian.”
Biarpun begitu, ketika Biru memikirkan kembali peristiwa itu sekarang, tiba-tiba saja Ia merasa kekhawatirannya menjadi semakin lebar. Sepenggal perkataan Kakek dalam percakapan lama mereka mengenai Si Rambut Merah adalah penyebabnya.
“Setelah melewati seratus tahun masa hukuman, mengorbankan satu jiwa dalam tugasnya, Si Rambut Merah itu akhirnya bebas…”
Tak lupa membawa nampan tempat cangkir berisi Ramuan Merah itu diletakkan, Biru melangkah keluar dari dapur. Sementara pikirannya terbesit satu tujuan, hatinya dibercaki titik penyesalan.
Mungkin seharusnya aku tidak perlu mempercayainya…
Melewati bagian utama kedai yang nyaris tak berpengunjung, Biru terus menuju ke sebuah tangga berbentuk setengah melingkar. Mendaki ke lantai dua yang terbatas bagi pengunjung manusia. Menyusuri sebuah lorong panjang yang keberadaannya seolah terbentuk oleh pintu-pintu kayu yang berdiri berjajar di kanan dan kirinya. Pintu-pintu kayu dengan bagian atas melengkung, yang menyembunyikan sebuah ruangan dibelakangnya.
Apalagi sampai berani untuk menyetujui perjanjian itu…
Selagi menyusuri lorong itu, Biru merasa kekhawatiran dalam hatinya terus melebar. Berdesakan dengan bercak penyesalan yang tidak timbul tanpa alasan. Sementara perjanjian untuk mengakhiri tugas mewarisi kedai –yang lebih mirip sebuah kutukan baginya– yang ditawarkan Si Rambut Merah, dengan syarat Ia mau membantu rencananya, itulah sebuah muasal.
Biarpun begitu, bagaimana bisa dia tidak memberitahuku soal perempuan itu?
Di depan pintu kayu terakhir, yang terletak tepat di penghujung lorong tersebut, Biru lalu menghentikan jalan. Meski ingin langsung melewati saja pintu yang ada tepat di depannya, tubuhnya lebih dulu tertahan.
Seperti biasa keraguan itu datang menghampiri dirinya setiap kali hendak memasuki ruangan yang tersembunyi di balik pintu itu. Ruangan yang menjadi satu-satunya jalan untuknya bisa menemui Si Rambut Merah. Ruangan yang akan membuat siapapun, yang pernah melihatnya, ragu untuk menyebutnya sebagai sebuah ruangan.
Ruangan yang tidak mudah ditemui ujungnya, tidak terprediksi bentuknya, tidak pula dapat dipastikan letaknya –apakah sebenarnya berada di luar ruangan, ataukah berada di luar ruangan– Sebuah ruangan yang seolah-olah memang tak lebih dari ilusi semata.
Sejak mulai mewarisi kedai untuk menggantikan posisi Kakeknya, entah sudah berapa kali Biru masuk ke dalamnya. ia tidak bisa menghitungnya, seolah-olah setiap pengalaman memasuki tempat itu telah diam-diam menyisakan semacam trauma. Akar dari keraguan yang saat ini masih menahannya untuk masuk ke sana.
Biarpun begitu, aku harus tetap masuk untuk bisa menemuinya.
Meninggalkan nampan berisi secangkir Ramuan Merah di tangan kirinya, Biru mengumpulkan tekad untuk mengatasi keraguan.
Menanyakan apa yang sebenarnya sedang direncanakannya.
Dengan tangan kanannya, perlahan Ia mulai memutar pedal pintu itu.
Memastikan bahwa keputusanku untuk mempercayainya, tidaklah salah.
KLEK!
*
“Lihatlah… Peri berambut merah itu, bukankah dia sungguh memesona?”
“Tentu saja. Dialah pewaris takhta.”
“Kalau begitu… benarkah dia yang telah membunuh Tuan Putri kita?”
“Kalau bukan, bagaimana mungkin dia bisa mewarisi takhta.”
“Bukan hanya memesona, ternyata dia juga menakutkan.”
“Tak heran. Sejak kelahirannya, dia sudah disebut sebagai petaka bagi Tanah Rahasia.”
“Sst… Kecilkan suaramu! Kita semua akan mati, kalau dia mendengarnya.”
Sambil menyesap Ramuan Merah dalam cangkirnya, Si Rambut Merah memejamkan mata. Seolah-olah dengan begitu, Ia bisa menutup sekalian kedua telinganya. Mengabaikan begitu saja gunjingan menyebalkan yang terus berusaha menembus kesabarannya, sejak awal kedatangannya beberapa waktu lalu.