ZEP!
Pintu kayu tak berpenyangga itu kembali menghilang begitu Biru selesai melewatinya. Persis enam buah pintu yang sudah Ia lalui sebelumnya. Meninggalkan laki-laki keturunan Si Penebang Pohon itu sendirian dalam sebuah tempat asing lainnya. Tempat asing yang sama sekali berbeda dengan tempat-tempat asing yang tersembunyi di balik enam buah pintu lainnya.
Pintu pertama yang dilaluinya, selepas dari ruangan penuh tembikar, membawanya ke sebuah lahan yang hanya dipenuhi tumpukan tanah liat. Seolah-olah, disanalah bahan baku untuk membuat semua tembikar yang tertata dalam ruangan sebelumnya. Tanah liat itu menggunung, seakan menunggu tangan-tangan terampil untuk mengubahnya menjadi karya yang bernyawa.
Pintu kedua yang ditemuinya di penghujung lahan penuh tanah liat, mengantarnya ke sebuah ruangan kosong yang nyaris senyap. Mengingatkan pada sebuah gedung yang lama ditinggalkan, dinding-dindingnya dipenuhi oleh cermin berbagai ukuran, memantulkan bayangannya dari segala arah. Setiap langkah kaki yang dibuatnya menggema tanpa henti, terus berputar di antara pantulan yang tak terhitung jumlahnya.
Di balik pintu ketiga, sebidang padang bunga yang luas, menyambutnya dengan warna-warni yang menenangkan. Langit senja nyaris merah, membentangkan cahaya hangat di atas hamparan bunga pemilik warna,. Sementara semerbak aroma memabukkan menguar di udara, hampir-hampir Ia tenggelam dalam keindahan tak nyata.
Pintu keempat membawanya ke dalam hutan bambu yang diselimuti kabut tebal. Pandangannya terhalang, nyaris tak bisa melihat lebih dari satu langkah ke depan. Di antara batang-batang bambu yang menjulang, suara-suara aneh terdengar samar, bersahutan dari arah yang tak pasti. Suara itu merayap di telinganya, menimbulkan rasa dingin yang menjalar hingga ke sekujur tubuhnya.
Pintu kelima membawanya ke sebuah kota yang tampak normal pada pandangan pertama. Namun, ada sesuatu yang ganjil. Penduduknya hanyalah bayangan tanpa wajah. Mereka bergerak seperti manusia, menjalani rutinitas yang tak bisa ia pahami, sambil berbisik dalam bahasa asing yang terdengar ganjil di telinganya. Suara itu berdesir di udara, menyelusup ke kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri tanpa ia tahu apa yang mereka bisikkan tentangnya.
Pintu keenam membawanya ke tepi sebuah telaga luas berwarna hitam pekat. Airnya begitu gelap, tak memantulkan cahaya sedikit pun, seolah menelan apa saja yang mendekatinya. Permukaannya tenang, tapi ada sesuatu yang terasa kelam di dalamnya, seperti menyimpan rahasia yang tak seharusnya terungkap. Jauh berbeda dari telaga jernih di puncak Bukit Peri, yang airnya memantulkan langit dan cahaya dengan begitu indah.
Dan akhirnya, pintu ketujuh membawanya ke dalam hutan yang kelam. Biru menghentikan langkah. Udara di sekelilingnya terasa berat, lalu tiba-tiba, aroma yang begitu familiar menyeruak… aroma yang membawa ingatan akan luka lama. Trauma yang selama ini terkubur kembali menyelinap ke dalam pikirannya, membangkitkan ketakutan yang mencengkeramnya erat. Tubuhnya membeku, seakan hutan itu tak hanya mengurung raganya, tetapi juga jiwanya.
Biru tak yakin, apakah hutan yang baru saja ditemuinya ini adalah hutan yang sama dengan tempatnya pernah tersesat sebelumnya. Berulang kali Ia berusaha untuk memastikan dengan logikanya, berulang kali itu pula trauma menjegalnya.
Pengalaman hari itu, kembali menyeruak. Pengalaman ketika dirinya tersesat di sebuah hutan yang tersembunyi di balik pintu itu selama berhari-hari lamanya. Pengalaman yang entah terjadi pada kedatangannya yang ke berapa. Jangankan untuk mengingatnya, saat ini, Biru bahkan hampir tak punya sedikit pun keberanian untuk melanjutkan perjalanannya.
Senada dengan langkah kakinya yang gemetar, tangannya pun tak mampu diam. Cangkir tembikar di atas piring kecil bergetar, menghasilkan derik yang kian jelas terdengar. Seolah-olah, nampan kayu yang menampungnya tak lagi mampu meredam kegelisahan itu. Derik tajam itu beradu dengan detak jantungnya yang berpacu, membisikkan kegelisahan yang tak dapat dikendalikan.
"Malam itu, aku tidak sendirian. Ada seorang perempuan yang berusaha kuselamatkan... tapi aku gagal. Perempuan itu... manusia."
Hingga tekadnya untuk menemukan kebenaran, sedikit demi sedikit mengikis rasa takut dan mengembalikan keberanian. Biru mengeratkan pegangan di atas nampan, lantas memulai kembali jalan. Menembus di antara pepohonan besar yang tumbuh tak beraturan, memasuki lebih jauh bagian dalam hutan. Bukan hanya nampan berisi Ramuan Merah yang tak sekalipun terpikir untuk Ia lepaskan, genggamannya kini penuh dengan harapan. Harapan bahwa Ia akan segera bertemu Gaya, di ujung jalan.
*
Melewati Pintu Ajaibnya, Si Rambut Merah Gaya baru saja tiba di sebuah tempat berbeda. Tidak termasuk bagian dari Tanah Rahasia, tempat menyeramkan ini berada di suatu bagian yang ada di Dunia Manusia. Meski hampir menyerupai Hutan Terlarang –tempat Para Arwah yang telah melakukan dosa tengah di penjara– suasananya, tidak berbentuk hutan lebat, sebagian besar dari tempat itu adalah rawa.
Menembus kegelapan yang hampir membuat matanya tak bisa melihat apa-apa, terus Gaya mendekat ke pusat rawa. Mengabaikan telapak kakinya yang basah, terus Ia menerobos rerumputan liar yang lebih dari satu meter tingginya. Bertolak belakang dengan Telaga Peri yang menyembunyikan Fatamorgana pada bagian hulunya, air yang menggenang di pusat rawa itu legam warnanya, seolah-olah tak pernah ada satupun cahaya yang pernah menghangatkan bagian dasarnya.
Hanya tinggal empat langkah tersisa, sebelum air rawa yang legam dapat menelan telapak kakinya, sebelum itu, Gaya lebih dulu menghentikan langkah. Bisik-bisikan tanpa rupa, terus terdengar dengan lebih jelas dibandingkan sebelumnya. Mengendarai angin dingin yang menelusup ke telinga, bisik-bisikan itu seolah sengaja diperdengarkan untuk mengintimidasinya.
Tak bergeming. Gaya terus menatap air rawa yang mulai beriak di bagian pusatnya. Menunggu dengan tenang, satu makhluk yang tengah bergerak mendekatinya, dari dalam legamnya.
Tak beberapa lama kemudian, beriak air rawa itu pun mulai terpecah. Dari dalam airnya yang legam, sesosok makhluk merayap keluar dengan gerakan tubuh yang mengerikan. Tak kalah mengerikan dari Para Arwah di hutan terlarang.
Sekujur tubuh makhluk legam itu basah, begitu juga dengan rambut panjang yang tergerai liar hingga menutupi seluruh bagian wajahnya. Tubuhnya yang kurus, agak membungkuk. Kulit yang bersisik, tampak licin, bahkan di dalam kegelapan rawa. Sepasang mata bewarna kuning menyala di antara rambutnya, menatap Gaya tanpa berkedip, seolah-olah perempuan berambut merah itulah harapannya.
Tepat satu langkah di hadapan Gaya, makhluk itu lalu menghentikan langkah. Tanpa sempat mengucapkan sepatah kata, Gaya –yang memang sudah menantikan kedatangannya– langsung mengulurkan sebelah tangan. Menagih sesuatu yang seharusnya diberikan makhluk menakutkan itu, setelah Ia datang ke sana.
Makhluk itu menyeringai, lalu perlahan mengangkat kedua tangannya. Tidak hanya satu seperti Gaya, namun kedua tangannya, tangan yang tampak memiliki selaput di setiap ruas jarinya. Dengan gerakan lambat dan agak canggung, biji-biji hitam yang gelap ditumpahkannya ke atas telapak tangan Gaya.