Hari menjelang sore. Lewat kaca jendela yang kotor, aku melihat langit mendung semakin gelap karena sudah memasuki senja. Angin berhembus masuk lewat sela-sela keretakkan dinding gudang reyot tempatku berada.
Jam sekolah sudah lama berakhir. Hampir tidak ada seorang pun di dalam lingkungan sekolah. Tapi, aku belum bisa pulang. Karena aku tengah menemani seseorang. Aku melakukan ini karena perutku yang lapar. Aku tidak bisa pulang, karena di rumah aku tidak akan menemukan makanan. Aku juga tidak bisa pulang, karena tubuhku tidak memiliki tenaga lagi untuk berjalan.
Jadi, di sinilah aku. Berdiam diri hingga sekolah sepi dan memuaskan orang lain demi sesuap makanan. Rasanya sakit, rasanya pedih. Aku aku telah menodai diriku dengan melakukan sesuatu yang buruk. Tapi apa daya, aku harus bertahan hidup. Sebagai manusia, aku harus makan.
“Aaarrgghhh…”
Rasa sakit itu kembali menyiksa. Tapi aku bertahan dan memandang ke arah langit-langit yang suram. Aku mencoba bertahan dengan menghitung serangga-serangga kotor yang melintas. Sementara itu aku kembali mendengar racauan penuh emosi dari pria yang ada di atasku.
Ia adalah penjaga sekolah. Seorang duda yang mencari makan dengan mengurus sekolah yang terbuang ini. Gajinya sangat kecil namun ia berbaik hati membaginya denganku agar aku bisa mengisi perut. Jumlahnya sangat sedikit. Namun aku mengerti. Seginilah jumlah yang bisa dia sisihkan untukku. Sebagai rasa terima kasih, aku menemaninya. Aku ingin mengingatkan, apa yang ia rasakan saat masih memiliki istri yang menyayanginya. Maka, aku memegang tangannya. Sayangnya niatku tidak tulus. Aku ingin menerima balas budi darinya.
“Terima kasih untuk hari ini.” Ujarnya sambil tersenyum. “Aku sangat bahagia kau mau menemani pria semacam diriku sore ini.”
“Jangan katakan itu.” Dengan lembut aku mengusap peluh dari dahinya yang keriput. Aku pun membersihkan keringat dari tubuh kurusnya yang tidak terurus. Aku pun berkata demi kebaikan dirinya. “Kau kurang makan. Kalau begini terus kau bisa sakit. Kau juga harus menjaga kesehatanmu sendiri.”