Malam sudah larut. Namun aku tiada juga mengantuk. Aku tidak ingin tidur. Saat ini, aku hanya ingin ada di sini. Duduk di sudut kamar dan menangis tanpa henti. Akhirnya air mataku habis terkuras. Namun hati ini masih terasa sakit.
Apa sebabnya?
Apakah karena aku sudah terlalu lama menangis?
Ataukah kemalangan yang selalu datang telah membuat hatiku mati?
Aku tidak tahu. Aku hanya ingin menangis. Aku hanya ingin mengungkapkan rasa yang di dada ini. Aku ingin kembali lega agar aku bisa bertahan. Tapi aku sudah tidak bisa.
Hari itu, aku pulang terlambat. Aku pun bergegas, agar bisa pulang sebelum ayahku datang. Aku tidak ingin mengecewakannya karena aku adalah anak baik yang berbakti padanya.
Dengan rasa lega, aku tersenyum. Pintu apartemenku yang suram telah ada di hadapanku. Aku pun yakin, aku sudah pulang sebelum ayahku tiba. Tapi …, kenyataannya tidak seperti itu.
Kala aku membuka pintu, aku melihat sesuatu tergantung. Ketika lampu menyala aku melihat sosok ayahku yang sudah tidak bernyawa. Lehernya yang patah terlilit oleh kabel telepon yang kuat mengikat lehernya yang pendek. Kencingnya yang masih menetes melalui celana lusuhnya masih terasa hangat. Hal ini berarti, ayahku tewas belum terlalu lama. Andaikan aku langsung pulang. Andaikan aku tidak terlambat datang. Aku yakin ayahku masih hidup. Tetapi kenyataannya, aku terlambat dan sebagai akibatnya ia telah tiada.
Dengan tangan gemetar aku memungut sepucuk surat yang tergeletak di lantai. Isinya tidak lain adalah surat pemberhentian kerja.
Rupanya ayahku tidak kuat. Hatinya sudah tidak mampu menerima cobaan. Itulah sebabnya ia memutuskan untuk menyerah. Rupanya rasa baktiku tidak cukup untuk mengobati kepedihannya.
Maafkan aku, ayah.
Maafkanlah anakmu yang tidak berguna.
Kenapa semua harus berubah. Kenapa semua hanyalah fana. Aku tidak pernah menuntut lebih. Aku tidak pernah mengharapkan apa yang tidak mungkin kuraih.
Ayahku meninggalkanku, sendirian di dunia kejam tanpa memegang uang sepeser pun.
Bagaimana aku makan?
Darimana pula uang untukku bersekolah.