Last Kiss from a Vampire

Roy Rolland
Chapter #8

08. Sahabat Baruku.

Cahaya lampu jalan menyilaukan mataku yang semula terpejam. Ingatanku yang kabur tidak bisa mengingat di mana keberadaanku saat ini.

“Kau sudah bangun?” Suara berat seorang pria yang lembut menyapaku.

Wajahku bersemu merah saat sadar sejak tadi kepalaku rebah di atas pangkuannya. Refleks yang disertai rasa canggung dan malu, aku segera bangkit dan menggeser dudukku sehingga tercipta jarak di antara kami berdua.

“Jangan paksakan dirimu.” Ujar pria tampan itu. “Wajahmu masih pucat. Istirahatlah.”

Aku menggelengkan kepala.

“Bagaimana mungkin aku terus berbaring di pangkuanmu Kau lihat? Celana dan pakaianmu yang mahal jadi kotor karena ulahku.” Dengan wajah memerah karena malu aku berkata. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi sekarang.”

“Sejauh mana kau bisa pergi dengan langkah segontai itu?” Pria itu mengamit lenganku untuk mencegahku berjalan menjauh. “Apakah kau memiliki tujuan? Apakah kau memiliki atap tempat bernaung. Apakah kau memiliki ayah dan ibu? Tolong katakan padaku, karena aku sangat mengkhawatirkanmu.”

Saat mendengar itu, aku tertawa. Tertawa yang histeris yang lama-kelamaan bercampur dengan tangisan yang pilu.

“Mengkhawatirkanku…?” Aku mengulangi ucapannya dengan berurai air mata. “Jangan mengejekku. Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Kau sama sekali tidak mengenalku. Kita hanyalah orang asing yang akan saling melupakan setelah siang berganti malam. Untuk apa kau mengkhawatirkanku? Apa kau mau mengatakan kalau kau peduli padaku? Apakah kau merasa kasihan padaku? Aku tidak butuh semua itu. Aku tidak butuh belas kasihanmu. Di kota ini tidak ada yang memedulikan orang lain. Mereka semua hanya bersikap baik kalau ada yang mereka harapkan dariku. Kenapa aku harus percaya kalau kau berbeda dari yang lain?”

Pria itu memandangku dengan tatapan dingin. Bola matanya yang berwarna pucat memberi kesan kalau dirinya tidak memiliki hati dan perasaan. Namun, itu hanya sesaat. Sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah menjadi ramah dan bibirnya yang kontras dengan kulitnya yang pucat, mulai menyunggingkan senyuman.

“Baiklah, kalau memang itu maumu, cantik.” Ujarnya di sela gelak tawanya. “Aku memang menginginkan sesuatu darimu kalau memang kau sudah menyadarinya. Tetapi tidak sekarang. Kau bagaikan berlian yang belum di asah. Kau perlu dipoles agar menampakkan sinarmu yang cemerlang. Aku akan menagih jasa darimu, setelah wajahmu yang muram itu berubah menjadi ceria. Aku pasti akan menagih jasa darimu setelah kulitmu yang pucat itu kembali bersemu merah karena darahmu telah kembali sehat ke seluruh tubuhmu. Apa kalimat semacam itu yang ingin kau dengar dariku?”

Lihat selengkapnya