Aku tidak ingat saat kami naik ke griya tawangnya. Aku bahkan tidak ingat kapan aku melepaskan pakaian. Aku tidak tahu, bagaimana aku bisa berdiri di hadapannya tanpa rasa canggung dan malu. Aku juga tidak tahu, kenapa aku menuruti maunya dengan berputar dan memamerkan tubuhku yang tidak tertutup.
Pria itu berjalan mendekati. Memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan wajah tawar.
“Tinggimu sekitar seratus lima puluh delapan sentimeter.” Ujarnya. “Tubuhmu ramping dengan berat sekitar…, empat puluh kilogram? Kau terlalu kurus.”
Dia tertawa.
“Maafkan aku…” Ujarku sambil menundukkan wajahku.
“Kenapa kau minta maaf padaku?” Tanyanya sambil mengerutkan dahinya. “Ucapanmu itu aneh.”
“Maafkan aku…”
“Lagi-lagi kau minta maaf.” Ujarnya sambil menatapku dengan tajam. Kemudian ia mengangkat wajahku dengan jari telunjuknya. “Kalau kau tidak salah, untuk apa kau minta maaf. Dengan cara apa kau dibesarkan selama ini. Haruskah kau begitu tunduk pada orang lain? Apakah kau memang menganggap dirimu serendah ini?”
Aku tidak bisa menjawabnya. Semua yang ia katakan adalah benar dan aku tidak memiliki keberanian untuk membantah ucapannya. Aku sangat malu pada diriku sendiri. Aku malu pada asal-usulku dan tempat tinggalku. Segala hal tentang diriku adalah aib yang tidak seharusnya diakui karena begitu memalukan.
“Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?” Pria tampan itu kembali bertanya.
“Kumohon maafkan aku.” Untuk kesekian kalinya aku mengatakan hal yang sama.
“Kalau begitu kita lupakan saja.” Ujarnya datar. Sekilas aku merasakan kemarahan dalam nada suaranya. “Ukuranmu adalah 34-25-32. Ukuran bajumu 4, sedangkan ukuran sepatumu adalah 8. Apakah benar?”
Tanpa mengeluarkan suara aku menganggukan kepalaku.
“Dadamu …” Ia berkata sambil menyentuh dadaku dengan tangannya yang dingin membeku. “Apakah ukuran B?”