“Apakah salah kalau aku merasa takut ?” Suaraku terdengar sesak saat menanyakannya.
“Tidak.” Veidt tersenyum hambar. “Itu manusiawi.”
“Kalau begitu…, aku bukanlah manusia.” Jawabku sambil menghembuskan napas panjang. “Kalau memang kau ingin menyakiti dan membunuhku sebagai balas budi atas kebaikanmu. Aku tidak akan menghalangimu.”
Mendengar itu Veidt tertawa. Tawa itu terdengar lepas dan tulus. Berbeda dengan sikapnya yang selama ini hambar dan kaku.
“Kehidupan macam apa yang kau jalani selama ini?” Ia menundukkan tubuhnya ke depan agar bisa menatapku dengan lebih jelas. “Kau adalah manusia. Sudah sepantasnya kau memiliki naluri untuk bertahan hidup. Eksistensi adalah segalanya di kehidupan yang fana ini. Tapi, kau malah bersikap pasrah padaku. Kau rela memberikan kehidupan yang berharga bagimu pada orang asing semacam diriku. Tidakkah kau takut pada ketiadaan? Apa kau bahkan orang beragama yang percaya surga dan neraka? Katakan padaku. Aku ingin tahu jawabanmu.”
“Sudah lama aku berhenti percaya.” Jawabku. “Sudah lama aku tidak menyebut nama Yang Maha Kuasa. Entah kapan terakhir kali aku mengucap doa. Kalau ia memang ada, tidak mungkin aku menjalani hidupku di tempat aku berasal. Tidak mungkin aku mengalami nasib buruk seperti yang kujalani selama hidupku. Aku melihat banyak orang baik patah semangat dan berubah menjadi pribadi yang mengerikan. Mereka sudah lelah untuk percaya dan mereka memilih untuk lepas dari belengu peraturan agama. Karena menurut mereka, tidak mungkin Yang Maha Kuasa menciptakan dunia buruk tempat mereka menjalani hidupnya.”
“Kau menyalahkan Yang Maha Kuasa atas sesuatu yang diperbuat manusia?” Suara Veidt kembali terdengar dingin.