Walau restoran itu sudah tutup, kami belum beranjak dari tempat kami. Cahaya lampu yang semula terang menyilaukan, kini sedikit temaram. Mungkin Veidt memang dingin dan kaku, tapi pria itu menunjukkan perhatiannya padaku. Dia banyak bertanya untuk bisa mengenalku dengan lebih baik. Tidak sedikit pun perhatiannya beralih dariku. Sikapnya ini sedikit membuatku tidak nyaman sekaligus senang pada saat bersamaan. Aku merasa dianggap penting olehnya. Hal ini membuatku sangat menghargainya.
"Sudah cukup." Pada akhirnya aku berkata. "Dari tadi selalu kau yang bertanya."
"Apa salahnya?" Tanya Veidt. "Aku tertarik padamu."
"Aku juga ingin mengenalmu." Balasku dengan suara nyaris tercekik. "Aku bahkan tidak tahu siapa namamu."
"Kau sudah tahu," pria asing itu berkata sambil mengalihkan matanya dariku. Entah apa yang membuatnya berpaling seperti itu. "Namaku Veidt."
"Itu adalah nama keluargamu. Aku ingin tahu siapa namamu." Lanjutku.
Mendengar itu, ia menunduk. Memperhatikan tangannya sendiri yang tengah mengetuk meja. Berberapa saat kemudian ia kembali mengangkat kepala. Menatapku dan berkata dengan suara pelan. "Namaku Vincent Veidt."