Aku terdiam tidak mampu untuk menjawab. Walau aku menundukkan pandangan, aku sadar selama itu pula Vincent melihatku tajam. Aku tidak berani tahu apa yang tengah dipikirkannya. Sesuatu yang negatif pasti yang terlintas dalam pikirannya. Aku memejamkan mata dan membuka mulut untuk menjawab. Cepat atau lambat, semuanya pasti terbongkar. Lebih baik dia tahu semua itu dari mulutku. Lebih baik dia tahu aku telah jujur padanya.
“Kalau begitu, apakah perlu aku mengantarmu pulang sekarang?”
Jantungku seakan berhenti berdetak saat Vincent berkata lembut. Perlahan kuangkat kepala, memandang wajah tampannya yang tersenyum hambar. Mau tidak mau aku mendapat kesan, ia memaksakan dirinya untuk menyunggingkan senyuman. Entah apa sebabnya pria di hadapanku ini bersikap seperti itu. Apa yang etrjadi dengan dirinya di masa lalu? Mungkinkah suatu saat nanti dia akan jujur dan menceritakan segalanya padaku?
Aku melantur. Aku harus menjawab pertanyaannya dan bukan malah larut dalam pikiranku sendiri. Maka, dengan perlahan aku gelengkan kepala sebagai jawaban.
"Tidak perlu," jawabku setengah berbisik. "Tempat tinggalku berada di lingkungan jelek dan kumuh. Tidak pantas rasanya apabila kau menginjakkan kaki ke sana untuk mengantarku. Selain itu..."
Aku diam sejenak dan melihat tubuh dan pakaian yang tengah kukenakan.
“Pakaian dan segala yang kukenakan ini terlalu indah.” Jawabku. “Terlalu mencolok untuk dikenakan di tempatku berada. Aku tidak ingin menarik perhatian. Aku ingin hanya menjadi bayangan selintas. Ijinkan aku menitipkannya padamu dan biarkan aku mengenakan pakaian lain yang lebih layak bagiku.”
“Apa maksudmu dengan pakaian layak?” Vincent memiringkan kepala. Matanya menyipit. "Aku tidak mengerti."
“Pakaian sederhana seperti yang selalu kukenakan.”
“Apa yang kau maksud pakaian murah?” Vincent menggelengkan kepalanya. “Maaf, bajumu terlalu kotor dan tidak layak lagi dikenakan. Aku membuangnya. Aku membelikanmu pakaian mahal, karena menurutku, hanya pakaian semacam itulah yang pantas kau kenakan.”