Jam sudah menunjukkan pukul dua dinihari, kala aku pulang. Beberapa saat sebelumnya, dengan segan aku membalikkan tubuh dan melambaikan tangan pada sahabatku yang tampanku. Malam ini kami memang berpisah, tapi aku janji akan pulang kepadanya esokan malam. Hatiku akan sabar menunggu berlalunya siang, dan aku akan menyambut malam dengan suka cita dan kegembiraan.
Kemudian aku masuk ke dalam, dan menemukan pengurus apartemen tengah menungguku dengan raut wajah gusar.
Ia berkata, “kemana saja kau hingga selarut ini? Tidak tahukah kau cara membalas budi. Aku telah membayar sewa kamarmu. Aku hanya memintamu melayaniku setiap malam sebagai balas budi darimu. Aku menunggumu untuk melayaniku malam ini. Aku sudah lama menunggumu. Sungguh lancang kau membiarkanku menunggu. Apakah kau tidak tahu kalau aku tidak bisa menahan diriku lagi.”
Dengan kasar, ia menjambak rambutku dan naik tangga untuk menuju ke apartemenku yang sempit. Ia membuka pintunya dengan gusar dan melemparku dengan kasar hingga terpelanting ke lantai.
“Maafkan aku,” ujarku setengah menangis. “Tapi kau tidak perlu mengeluarkan uang lagi untukku. Kau lihat? Aku membawa uang untuk mengganti uangmu. Biarkan aku tidur di sini semalam lagi dan besok aku akan pergi darimu dan tidak akan pernah kembali lagi.”
Dia mengambil lipatan uang dari tanganku dengan jemarinya yang kotor Setelah menyimpannya di kantong celana, tanpa berkata apa-apa, ia membuka bajunya dan menindih tubuhku dengan tubuh berbulunya yang berkeringat.
“Aku membutuhkanmu,” ujarnya dengan kata-kata manis namun tidak enak didengar. “Aku tidak akan membiarkan gadis secantik dirimu kabur dari genggamanku. Aku menyukaimu. Aku sangat mencintaimu hingga ingin kau menemaniku seumur hidupmu. Tidak bisakah kau mengerti itu?”
“Bagaimana mungkin kau mencintaiku kalau kau selalu memaksa dan menyakitiku,” aku tidak bisa manahan air mataku mengalir deras. “Bagaimana mungkin aku tidak lari darimu kalau kau selalu bersikap sekasar ini padaku. Perlakukan aku dengan lembut, maka aku akan berterima kasih dan tidak akan pergi menjauh. Tetapi kau tidak pernah melakukan itu. Kau selalu menyakitiku. Tidakkah kau menghargai perasaanku selama ini? Aku sudah mencoba menyukaimu. Aku benar-benar telah berusaha. Tetapi aku tidak bisa. Mengingat dirimu sangat menyakitkan batinku. Hal ini membuat aku ingin melupakanmu. Aku ….”
“DIAM!” dengan kalap ia menampar wajahku dengan punggung tangannya.
Darah memercik ke lantai lewat bibirku yang pecah karena ulahnya. Dengan pasrah, aku diam di lantai dan membiarkan wajahku dipukul olehnya. Rasanya sangat sakit. Tetapi aku tidak ada keinginan untuk bergerak ataupun melawan. Aku hanya menahan rasa sakit ini sambil meneteskan air mata.
Dengan kasar, ia merobek semua pakaianku dan ia memaksaku untuk memuaskannya malam itu. Setelah selesai, ia menghubungi beberapa kawannya dan ia menjualku dengan harga beberapa lembar uang seratusan.
Aku sungguh tidak berharga.
Aku hanyalah sebuah benda.
Aku dianggap tidak memiliki jiwa.