Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Entah kenapa tubuhku sulit untuk digerakkan. Tidak seperti biasa, kali ini tiada ada yang kurasa. Tidak ada rasa sakit maupun perih. Bisa kurasakan darah masih mengalir melalui gusi dan bibirku yang pecah. Setidaknya aku masih merasakannya. Untuk itu aku bersyukur. Ini berarti aku masih hidup.
Hhhh ….
Apa hal itu memang patut kusyukuri?
Untuk apa aku bersyukur atas kehidupan semacam ini?
Aku memejamkan mata. Membukanya lagi dan menatap ke jendela. Hari telah malam. Seharusnya aku sudah meninggalkan tempat ini dan tidak akan pernah kembali. Memenuhi janjiku padanya. Setidaknya dia memperlakukanku dengan baik.
Tapi enggan bagiku untuk bangun. Aku pun tiada memiliki tenaga. Apa mungkin tubuhku sudah tidak bisa lagi digerakkan. Mungkin saja aku telah mati. Hanya pikiranku yang tersisa sebelum hilang sepenuhnya dalam kegelapan.
Haruskah aku menyesal?
Padahal selangkah lagi aku bisa keluar. Selangkah lagi untuk mendapat kesempatan memperoleh kebahagiaan. Apa mungkin, aku tidak pantas untuk mendapatkannya? Aku melihatnya. Dia mengetuk kaca jendela. Tapi bagaimana mungkin. Kamarku terletak di lantai empat. Tentu saja aku tahu jawabannya. Aku tidak lupa, aku tahu kalau dia bukan manusia. Aku tahu itulah sebabnya dia ingin aku ada di dekatnya. Baginya aku adalah makanan.
“Izinkan aku masuk.”
Aku mendengarnya berbisik di dalam kepalaku.
“Aku tidak bisa menolongmu kalau aku tidak dizinkan masuk.”
Sekali lagi suaranya yang manis membujuk lembut.
Aku membuka mulutku dan berkata dengan suara berbisik yang kering dan parau, “aku mengizinkanmu .…”