Nafas ini tercekat, saat pandang mata menangkap bayangan malaikat tak bersayap. Dunia pun seakan berhenti, terfokus pada senyumnya yang memikat hati. Bunga yang mekar menguncup kembali, iri melihat indahnya lesung pipi.
Wajah rupawan, senyum menawan, sungguh tampan bagaikan bangsawan. Sekilas saja mata ini memandang hati langsung berdebar kencang. Gugup tak karuan saat mata saling pandang.
Hanya sekejap mambu membuatku terpikat. Berhalusinasi yang mengarah pada maksiat.
Tersadarkan diriku oleh bisik angin yang menyayat kalbu. Aku pejamkan mata menerima kenyataan yang ada.
"Astaghfirullah, aku telah tergoda oleh buaian syaitan," gumamku.
Aku pun beranjak pergi meninggalkan tempat dudukku. Tak berselang lama pria yang semenjak tadi aku kagumi keelokan parasnya juga pergi dari tempat singgahnya.
Aku menuju mushola untuk berteduh karena rintik hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang kian gersang. Sesampainya aku di mushola pria yang aku kagumi pun berada di sampingku. Jarak kami yang begitu dekat membuat jantungku berdetak tak karuan. Air hujan yang membasahi wajahku bercampur dengan keringat dingin yang keluar sebab gugup.
Sesekali aku melihatnya menggosokkan tangannya karena dingin.
Berdebar kencang jantungku kala pandangan kami bertemu. Segera kupalingkan wajah karena malu. Ia kemudian mendekatiku yang membuatku grogi dan gugup.
Ia semakin mendekat. Pria tadi mengulurkan tangannya seraya berkata, "Rayhan. Namaku Rayhan. Siapa namamu?" ujarnya.
"Ah, aku Amara," jawabku grogi.
Kami duduk di teras mushola berdua. Tiada orang lain selain kami. Suasanya yang hening membuatku kikuk. Inginku mengajaknya bicara, tetapi hati ini terus berdebar tak kuasa menahan gejolak rasa.
Aku menoleh kepadanya, tak kusangka ia pun menoleh padaku. Tatapannya lembut membuatku tak dapat berpaling. Hingga ia menyentuh keningku karena mengira aku sakit.
"Hai, kau sakit? Wajahmu memerah," ujarnya membuatku salah tingkah.
Aku menutupi wajahku karena malu.
"Aku tak apa. Hanya kedinginan saja," jawabku.
"Eh, pakailah. Bajuku cukup tebal untuk menahan dinginnya udara," ujarnya sambil memberikan sweter kepadaku.
"Ah, tak apa. Aku masih bisa menahannya." Rayhan pun mendekat padaku dan memasangkan sweaternya di bahuku.
"Sudah pakai saja. Wajahmu benar-benar merah seperti kepiting rebus," ucapnya membuatku benar-benar merasa gugup dan malu.
"Tak tahukah kau jikalau merahnya wajahku ini karena dirimu yang membuatku malu," batinku.
Hari mulai gelap. Hujan pun tak kunjung reda. Aku semakin gelisah karena tak dapat menghubungi salah seorangpun untuk menjemputnya. Bukan karena ia ingin berduaan lebih lama dengan Rayhan, tetapi ia lupa meninggalkan handphonenya di rumah.
"Sudah sore. Sebentar lagi akan adzan maghrib. Kau tak pulang? Atau masih masih mau menunggu di sini?" tanya Rayhan.
"Aku akan pulang selepas sholat. Siapa tahu nanti hujannya reda dan aku bisa mencari kendaraan umum untuk pulang," jelasku.
"Mau aku antar pulang? Kebetulan aku bawa sepeda motor. Tapi, aku tak membawa jas hujan.
"Tapi rumahku jauh. Dan sebentar lagi juga adzan maghrib berkumandang," jawabku.
"Akan sulit menemukan kendaraan umum selepas maghrib. Apalagi jika hujan turun mengguyur bumi. Aku akan mengantarmu setelah sholat. Bagaimana?" tawar Rayhan.
"Apa aku tak merepotkanmu?" tanyaku.
"Tidak. Kau sama sekali tak merepotkanku. Aku benar-benar ikhlas ingin menolongmu," jawab Rayhan.
Tak berselang lama adzan maghrib dikumandangkan. Aku dan Rayhan mengambil wudhu dan sholat berjamaah di mushola tempat kami berteduh. Selepas sholat aku duduk di teras masjid menunggu Rayhan yang tengah membaca Al-qur'an.
"Huh, melihatnya mengaji membuatku tenang. Suaranya yang merdu mampu menentramkan hatiku," gumamku.
Aku terus memandangi Rayhan dengan terkagum-kagum. Tak kusangka masih ada anak muda yang menyempatkan waktunya untuk membaca Al-qur'an selepas sholat. Sungguh pria idaman.
"Apa yang kau lamunkan?" tanya Rayhan membuatku terkejut.
"E ... e ... bukan apa apa-apa," jawabku kikuk.
"Oh,oke. Masih hujan, mau pulang sekarang atau nunggu hujannya reda?"
"Sebenernya aku ada acara selepas isya. Apa kau baik-baik saja jika kita berhujan-hujanan?" tanyaku.