Reivan mendeteksi perubahan lebih cepat dibandingkan yang lain. Pada awalnya insting saja, lebih berupa naluri daripada rasio. Kemudian, ia memperhatikan bahwa udara berbau debu dan terdapat butiran pasir di udara. Reivan memperhatikan dinding terowongan yang kasar dan melihat ada bahan seperti bubuk di sana. Bahan itu melapisi satu sisi dinding: pada setiap tonjolan dan lekukan, seolah bahan itu terbawa angin yang datang dari kegelapan di depan.
Reivan merasakan getaran menjalari tubuhnya. Ia khawatir itu mungkin penting. Namun, ia tidak mengatakan apa pun. Bisa jadi dia salah. Lagi pula, setiap orang masih sangat terguncang dengan kekalahan yang mereka alami. Mereka semua berjuang untuk menerima kematian kawan, keluarga, dan sanak saudara mereka yang jasadnya mereka tinggalkan di belakang, dikubur di tanah musuh. Mereka tidak perlu mengkhawatirkan hal lain.
Bahkan, sekalipun mereka pulang dengan semangat yang lebih baik daripada sekarang, Reivan akan tetap diam. Para pria dari kelompoknya mudah tersinggung. Mereka, seperti juga dirinya, memendam kemarahan karena mereka tidak terlahir dengan cukup keahlian sihir untuk menjadi Pelayan Dewa. Jadi, mereka bergantung kepada satu-satunya sumber keunggulan yang mereka miliki.
Mereka lebih cerdas dibandingkan orang kebanyakan. Mereka merupakan Cendekiawan. Mereka berbeda dengan orang yang sekadar berpendidikan. Mereka memiliki kemampuan untuk menghitung, menemukan, memahami filosofi, dan memahami alasan. Ini yang membuat mereka memiliki semangat bersaing. Dahulu sekali, mereka telah membentuk hierarki internal. Orang yang lebih tua mendapatkan tempat lebih tinggi dibandingkan orang yang lebih muda. Pria mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dibandingkan wanita.
Tentu saja itu menggelikan: Reivan telah memperhatikan bahwa seiring dengan bertambahnya usia pikiran cenderung menjadi tidak fleksibel dan lambat, begitu pula dengan tubuh mereka. Hanya karena di antara para Cendekiawan jumlah pria lebih banyak dibandingkan wanita, tidak berarti bahwa pria lebih cerdas. Sebagai wanita, Reivan senang karena bisa membuktikan hal itu ... tetapi sekarang tentu bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan bahwa ia lebih cerdas.
Lagi pula, mungkin aku salah.
Aroma debu menjadi lebih kuat sekarang.
Dewa-dewa, aku harap aku salah.
Tiba-tiba Reivan teringat kemampuan para Pewara Dewa untuk membaca pikiran. Ia menoleh sepintas ke samping dan merasa kehilangan arah sesaat. Reivan berharap melihat Kuar. Ternyata ia melihat seorang wanita, tinggi, elegan berjalan di belakang kelompok Cendekiawan. Imenja, Pewara Dewa Kedua. Reivan merasa sedih ketika teringat mengapa wanita ini sekarang memimpin pasukan tentara.
Kuar telah mati, dibunuh oleh Circlian.
Imenja memandang Reivan, kemudian memberi isyarat. Jantung Reivan seakan berhenti berdetak. Walaupun termasuk dalam kelompok Cendekiawan yang telah memetakan rute melewati gunung, ia belum pernah berbicara dengan salah satu Pewara Dewa sebelumnya. Grauer, pemimpin kelompok Cendekiawan, menjadikan tugas melapor kepada Pewara Dewa sebagai tugasnya sendiri.
Reivan berhenti. Dari pandangan sepintas pada para pria di depannya, ia tahu mereka belum menyadari bahwa ia dipanggil atau bahwa ia telah tertinggal di belakang. Begitu pula dengan Grauer, yang perhatiannya tertuju kepada peta. Ketika Imenja sampai di dekatnya, Reivan mulai berjalan lagi, menjaga jarak satu langkah di belakang Pewara Dewa.
"Bagaimana aku dapat melayanimu, Imenja yang suci?"
Imenja mengernyit walau pandangannya tetap tertuju pada para Cendekiawan. Apakah yang kau takutkan? Imenja bertanya dengan suara pelan.
Reivan menggigit bibirnya. "Ini mungkin akibat dari berada di bawah tanah. Kegelapan mengganggu pikiranku, Reivan berkata dengan tergesa-gesa. Tetapi, ... udara tidak pernah begitu berdebu pada perjalanan kami sebelumnya. Dan, tidak pernah terdapat debu sebanyak ini di dinding. Tanda-tanda itu menandakan pergerakan udara yang cepat dari suatu tempat di depan. Aku dapat memikirkan beberapa kemungkinan penyebabnya ...."
"Kau takut terowongan ini runtuh," Imenja menyatakan.
Reivan mengangguk. "Ya. Dan, ketidakstabilan selanjutnya."
"Alamiah atau tidak alamiah?"
Pertanyaan Imenja, beserta maknanya, menyebabkan Reivan berhenti dengan terkejut dan takut.
"Aku tidak tahu. Siapa yang akan melakukan hal seperti itu? Dan mengapa?"
Imenja memandang dengan wajah muram. Aku telah menerima laporan bahwa kaum Sennon sedang membuat masalah dengan orang-orang kita sekarang, karena berita tentang kekalahan kita telah mereka dengar. Atau, itu mungkin tindakan penduduk setempat yang ingin membalas dendam terhadap kita."
Reivan memalingkan wajahnya. Ingatan itu kembali muncul, kawanan vorn, dengan mulut berlumuran darah setelah mereka melakukan "perburuan" terakhir di desa, pada malam sebelum mereka memasuki tambang. Hubungan baik dengan penduduk setempat tentu saja bukan merupakan prioritas bagi pasukan tentara, yang begitu yakin bahwa mereka akan menang.
Seharusnya kita tidak pulang kembali lewat sini. Kita seharusnya mengusir kaum Circlian keluar dari Ithania Utara dan mengklaimnya untuk para dewa, lalu kembali pulang lewat celah gunung.
Imenja menghela napas. "Kembalilah ke kelompokmu, tetapi jangan mengatakan apa-apa. Kita akan menangani masalah saat kita menghadapinya."
Reivan mematuhinya. Ia kembali ke tempatnya di belakang para Cendekiawan. Karena Reivan menyadari kemampuan Imenja untuk membaca pikirannya, ia tetap waspada terhadap tanda-tanda gangguan. Tidak lama kemudian, ia menemukan suatu tanda.
Sungguh menyenangkan melihat rekan-rekannya para Cendekiawan perlahan-lahan menyadari puing di jalan semakin lama semakin banyak. Hambatan pertama yang mereka temui adalah bagian kecil dari atap tambang yang telah runtuh. Reruntuhannya tidak memenuhi jalan. Mereka hanya perlu memanjat melewati reruntuhan untuk dapat melanjutkan perjalanan.
Kemudian, rintangan itu menjadi semakin sering muncul dan semakin sulit dilewati. Imenja menggunakan sihir untuk memindahkan sebuah batu besar dengan hati-hati dan menggeser gundukan puing di sana-sini. Tidak ada seorang pun yang mengatakan dugaan apa penyebab dari rintangan itu. Semuanya tetap diam.
Jalan itu menuju salah satu gua alamiah yang biasa ditemui dalam tambang. Reivan menatap ke ruang kosong itu. Di sana seharusnya hanya ada kegelapan, tapi ternyata terdapat bentuk-bentuk pucat yang samar-samar tampak diterangi lampu para Cendekiawan.
Imenja melangkah maju. Ketika ia memasuki gua, cahaya lampu sihir naik makin tinggi dan makin terang, menerangi sebuah dinding batu. Para Cendekiawan menatap ke atas dengan cemas. Di sini, atap tambang juga telah runtuh, tetapi kali ini tidak terdapat jalan di atas atau di sekitar reruntuhan. Puing-puing memenuhi gua.
Reivan memandang tumpukan puing itu. Sebagian dari batu-batu itu memang sangat besar. Seandainya seseorang terjebak di bawah reruntuhan seperti itu ... ia ragu apakah akan ada waktu untuk memahami apa yang telah terjadi. Retak. Lalu, ambruk.
Lebih baik daripada ditikam di perut dan menyongsong kematian yang panjang dan menyakitkan, pikir Reivan. Walaupun aku tidak bisa menghindari untuk merasa bahwa kematian yang mendadak seakan menipumu. Kematian adalah sebuah pengalaman hidup. Kau hanya mengalami satu kematian. Aku ingin menyadarinya ketika itu terjadi. Bahkan, jika kematian itu berarti aku harus menahan rasa sakit dan rasa takut.
Suara Grauer menarik perhatiannya.
"Ini seharusnya tidak terjadi," Grauer berseru, suaranya menggema di gua yang terhalang. "Kita telah memeriksa semuanya. Gua ini seharusnya stabil."
"Jaga suaramu," Imenja menghardik.
Grauer meloncat karena terkejut, dan menundukkan pandangannya. "Maafkan aku Imenja yang suci."
"Carikan jalan lain untuk keluar dari sini."
"Baik, yang suci."
Dengan memandang sepintas ke arah para Cendekiawan yang ia percaya, Grauer mengumpulkan sekelompok kecil orang di sekelilingnya. Mereka tampak bergumam selama beberapa saat, kemudian berpisah serta membiarkan Grauer berjalan maju dengan percaya diri.
"Perkenankan aku memimpin perjalanan, Imenja yang suci," Grauer berkata dengan rendah hati.
Imenja mengangguk kepada para Cendekiawan yang lain, mengisyaratkan bahwa mereka harus bergabung dengan Grauer. Jalan menjadi penuh ketika pasukan kembali ke jalan tadi. Udara menipis walaupun terdapat upaya-upaya dari para Pelayan Dewa untuk menarik udara segar dari ventilasi dan retakan di atas. Para Pelayan, prajurit, dan budak semuanya diam dalam kekhawatiran.
Sulit memperkirakan berjalannya waktu di dalam tambang bawah tanah. Namun, masa berbulan-bulan yang telah dihabiskan Reivan di tambang guna membantu rekan-rekannya para Cendekiawan memetakan tambang, sistem gua alam, dan jalan gunung telah memberinya gambaran dalam menduga waktu. Hampir satu jam telah berlalu sebelum Grauer mencapai sisi terowongan yang ia inginkan. Grauer tenggelam dalam rute yang baru, tergesa-gesa dalam kegelisahannya untuk membuktikan kemampuan dirinya.
"Lewat sini," kata Grauer, pandangannya terus-menerus berpindah dari peta ke sekelilingnya. "Di sini." Para Cendekiawan bergegas mengikuti di belakangnya ketika ia berbelok di sudut. Dan kemudian, perjalanan panjang menyusuri—"
Keadaan menjadi hening sejenak, kemudian terdengar jeritan yang menggema, menghilang dengan cepat di kejauhan. Para Cendekiawan bergegas berbelok di sudut dan berhenti, menghalangi jalan. Reivan mengintip di antara bahu orang-orang dan melihat sebuah lubang bergerigi di lantai.
"Apa yang terjadi?"
Para Cendekiawan melangkah mundur untuk memberi jalan bagi Imenja.
"Hati-hatilah, Imenja yang suci," seseorang berkata dengan lirih. Raut wajah Imenja melunak sedikit dan ia memberikan anggukan singkat kepada orang itu sebelum perlahan berjalan ke depan.