Last of The Wilds: Pembangkang Para Dewa

Mizan Publishing
Chapter #3

BAB 2

"Sungguh indah," kata Teiti seraya berjalan ke kios berikutnya. Imi memperhatikan lampu-lampu yang digantung, terbuat dari kerang raksasa yang dipenuhi lubang-lubang sehingga api di dalamnya memancarkan ribuan cahaya berbentuk jarum. Lampu-lampu itu memang indah, tapi tidak akan membuat ayahnya terkesan. Hanya barang langka yang mampu mengesankan ayahnya. Imi mendengus, lalu mengalihkan pandangannya.

Teiti tidak berkomentar lagi tentang lampu-lampu itu. Ia sudah cukup lama menjadi pengasuh Imi dan tahu benar watak keponakannya. Jika Teiti berusaha meyakinkan Imi bahwa sebuah barang itu bagus, Imi justru akan semakin yakin bahwa barang itu tidak bagus. Mereka berjalan ke kios berikutnya. Kios itu sarat dengan piring-piring yang dipenuhi bubuk warna-warni, koral dan rumput laut kering, batu berharga, serta hewan dan tumbuhan laut yang dikeringkan.

"Lihat," seru Teiti. "Amma! Itu barang yang langka. Para pembuat parfum dapat menghasilkan wewangian yang sedap dari amma."

Pemilik kios itu, seorang pria gemuk dengan kulit berminyak, memberi hormat ke arah Imi. "Halo, Tuan Putri kecil. Apakah amma ini menarik perhatianmu?" tanya pria itu dengan wajah berseri-seri. "Ini adalah air mata kering dari ikan raksasa. Sangat langka. Apa kau ingin mencium baunya?"

"Tidak." Imi menggelengkan kepalanya. "Ayah sudah pernah menunjukkan amma kepadaku sebelumnya."

"Tentu saja." Pemilik kios itu kembali memberi hormat ketika Imi beranjak pergi. Teiti terlihat kecewa, tetapi ia diam saja. Ketika mereka melewati beberapa kios lagi, Imi menghela napas.

"Aku tidak yakin akan mendapatkan sesuatu di sini," keluh Imi. "Barang-barang yang paling langka dan berharga tentu telah dijual langsung kepada ayah. Lagi pula, ayah mempekerjakan pengrajin terbaik di kota ini."

"Apa pun yang kau berikan untuk ayahmu merupakan sesuatu yang berharga," kata Teiti. "Bahkan, sekalipun kau memberikan segenggam pasir, ayahmu akan menghargainya."

Imi memandang Teiti dengan tidak sabar. "Aku tahu, tetapi aku mencari hadiah untuk hari ulang tahun ayah yang keempat puluh. Hari yang sangat spesial. Aku harus mendapatkan hadiah yang lebih berharga dibandingkan apa pun yang pernah ayah terima sebelumnya. Seandainya saja ...."

Imi tidak menyelesaikan kalimatnya. Seandainya saja ayah setuju untuk melakukan perdagangan dengan para landwalker, tentu aku akan menemukan sesuatu yang belum pernah ayah lihat sebelumnya.

Itu merupakan suatu hal yang seharusnya tidak diketahui Imi. Pada suatu hari, seorang penyihir wanita landwalker datang ke kotanya. Imi sedang berada di kamarnya. Ia meminta Teiti untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi—tetapi Imi juga dapat melakukan sesuatu tanpa dilihat orang.

Di belakang sebuah ukiran tua di dinding kamarnya, terdapat sebuah terowongan yang cukup besar untuk dilaluinya. Pada awalnya terowongan itu buntu, tetapi Imi telah mengikis dinding penghalang terowongan sejak dulu. Di ujung terowongan terdapat sebuah ruangan rahasia yang dipenuhi dengan pipa-pipa. Jika meletakkan telinganya ke lubang pipa, Imi bisa mendengar percakapan di seberang pipa. Ayahnya pernah mengatakan tentang hal itu, dan menjelaskan padanya bahwa begitulah cara ayahnya mengetahui rahasia orang-orang.

Ketika wanita landwalker itu datang ke kotanya, Imi merangkak melalui terowongan menuju ruang rahasia, untuk mengetahui apa yang membuat para pengawal terlihat gelisah. Imi mendengar wanita itu menanyakan pada ayahnya apakah landwalker dan Elai dapat berteman. Wanita itu akan memerintahkan orang-orangnya untuk mengusir para penyerang yang telah membunuh dan merampas Elai sehingga Elai terpaksa tinggal di kota bawah laut. Sebagai balasannya, para Elai akan membantu landwalker jika dibutuhkan. Mereka juga akan membuka perdagangan barang. Landwalker akan membeli barang dari Elai, dan Elai juga dapat membeli barang dari landwalker. Hal itu terdengar seperti kesepakatan yang bagus, tetapi ayah Imi menolak tawaran itu. Ayahnya meyakini bahwa semua landwalker adalah pembohong, pencuri dan pembunuh, dan tidak dapat dipercaya.

Tidak mungkin semua landwalker seperti itu, pikir Imi. Mungkinkah begitu?

Jika mereka memang begitu, tentu daratan merupakan tempat yang mengerikan. Tempat setiap orang saling mencuri milik orang lain, dan selalu terjadi pembunuhan. Mungkin begitu karena mereka memiliki banyak barang berharga untuk diperebutkan.

Imi menggelengkan kepalanya. "Ayo kita pulang."

Bibinya mengangguk. "Mungkin lain waktu kita akan dapat menemukan sesuatu yang spesial."

"Mungkin," jawab Imi dengan ragu.

"Kau masih mempunyai waktu satu bulan untuk mencari hadiah bagi ayahmu."

Pasar itu terletak di dekat Gerbang, sebuah danau besar yang merupakan pintu masuk ke kota bawah laut. Ketika danau besar dan gelap itu mulai tampak, Imi merasakan kerinduan yang murung. Imi hanya pernah pergi meninggalkan kota beberapa kali dalam hidupnya, dan selalu didampingi banyak pengawal. Itulah sulitnya menjadi seorang putri raja, tidak dapat pergi ke mana pun tanpa didampingi pengawal.

Imi telah lama belajar melupakan kehadiran para pengawal bersenjata yang mendampingi dirinya dan Teiti. Dan, para pengawal selalu berusaha untuk tidak menarik perhatian agar tidak membuat Imi merasa terganggu.

Tidak menarik perhatian. Imi tersenyum. Itu merupakan kosakata baru yang belum lama ia pelajari. Imi mengatakannya dalam hati.

Mereka meninggalkan pasar menuju Sungai Raya. Jalan itu sebenarnya bukan sungai, karena tidak ada airnya, tetapi semua jalan di kota dinamai sungai, anak sungai, aliran, atau aliran kecil. Tempat umum yang lebih besar disebut kolam—kadang-kadang disebut genangan ketika seseorang mengejek daerah itu.

Sungai Raya merupakan jalan terbesar di kota bawah laut. Jalan itu mengarah langsung ke gerbang istana. Sungai Raya tidak pernah kosong sekalipun malam hari. Selalu ada orang lalu-lalang di Sungai Raya, meskipun hanya seorang kurir yang bergegas menuju atau meninggalkan istana atau penjaga malam yang berpatroli di gerbang istana.

Hari ini Sungai Raya ramai. Dua orang pengawal yang mendampingi Imi berjalan di depan untuk membuka jalan. Jalanan dipenuhi berbagai bunyi yang memekakkan telinga, bunyi langkah kaki, suara musik, dan nyanyian.

Imi mendengar sebuah lagu dan berhenti. Itu sebuah lagu baru, yang berjudul "Wanita anggota White", dan Imi yakin bahwa lagu itu tentang wanita landwalker yang mengunjungi kotanya. Ayahnya melarang semua orang memainkan lagu itu di istana. Teiti segera menggenggam tangan Imi dan menariknya.

"Jangan merepotkan para pengawal," kata Teiti dengan lirih.

Imi tidak membantah. Lagi pula, aku tidak boleh terlalu menunjukkan rasa tertarik pada lagu itu agar orang tidak menduga bahwa aku tahu tentang kedatangan wanita landwalker itu.

Mereka sampai di ujung Sungai Raya. Teiti menghela napas lega ketika mereka meninggalkan keramaian, melewati pintu gerbang, dan memasuki kawasan Istana yang tenang. Seorang pengawal muncul dan membungkuk hormat ke arah Imi.

"Raja ingin bertemu denganmu, Tuan Putri," kata pengawal itu dengan hormat. "Di Ruang Utama."

"Terima kasih," awab Imi, sambil menjaga suasana hatinya. Ayahnya ingin bertemu dengannya pada siang hari! Biasanya, ayahnya tidak pernah mempunyai waktu untuk bertemu dengannya pada siang hari. Pasti ada hal penting.

Teiti tersenyum setuju melihat sikap Imi yang menahan diri. Mereka berjalan menyusuri Aliran Utama istana dengan sikap terhormat dan lambat yang membuat Imi kesal. Para pengawal mengangguk dengan hormat ketika Imi melewati mereka. Aliran Utama dipenuhi pria dan wanita yang sedang menunggu untuk bertemu dengan raja. Mereka membungkuk hormat ketika Teiti dan Imi berjalan melewati pintu yang terbuka menuju Ruang Utama.

Ketika memasuki ruangan yang besar itu, Imi melihat ayahnya sedang duduk di singgasana, berbicara dengan salah satu dari tiga pria yang duduk di kursi di depannya. Imi mengenali mereka: penasihat ayahnya, kepala istana, dan kepala pembuat baju. Ayahnya mengangkat wajahnya melihat Imi datang, lalu tersenyum lebar dan membuka tangannya. "Imi! Ayo peluk ayahmu."

Imi meringis, melupakan tentang sikap terhormat dan berlari riang melintasi ruangan. Ketika melompat kepelukan ayahnya, Imi merasakan lengan ayahnya yang kokoh dan dada ayahnya yang bergetar karena tawa.

Ayahnya melepaskan pelukannya, kemudian menggeser duduknya agar Imi dapat duduk di sampingnya.

"Aku mempunyai pertanyaan penting untuk kau jawab," kata ayahnya.

Imi mengangguk, dengan wajah serius. "Ya, Ayah?"

"Pertunjukan apa yang kau inginkan pada pesta ulang tahunku?"

Imi meringis. "Tarian! Sirkus dan akrobat!"

"Tentu," kata ayahnya. "Apa lagi? Apakah kau dapat memikirkan sesuatu yang spesial?"

Imi berpikir keras. "Orang-orang yang terbang!"

Ayahnya mengangkat alis dan memandang penasihatnya. "Bisakah kita menghadirkan beberapa Siyee?"

Imi meloncat-loncat dengan penuh semangat. "Bisakah? Bisakah?"

Penasihat tersenyum. "Aku akan meminta mereka hadir, tetapi aku tidak dapat menjanjikan apa pun. Mungkin mereka tidak suka berada di bawah air karena mereka tidak dapat melihat langit. Di samping itu, mereka tidak dapat terbang di tempat sempit. Ruangan yang ada terlalu sempit bagi mereka."

"Kita dapat mengajak mereka datang ke gua yang paling besar dan tinggi," Imi mengusulkan. "Dan, mengecat langit-langit gua sehingga berwarna biru seperti langit."

Mata ayahnya berbinar penuh semangat. "Itu akan menjadi pemandangan yang mengagumkan." Ayahnya tersenyum kepada Imi. Imi terus mencari gagasan yang mungkin dapat menyenangkan ayahnya.

"Pertunjukan memakan api!"seru Imi.

Ayahnya mengerjapkan mata, mungkin ia teringat peristiwa kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu. Saat itu seorang pria pemakan api yang masih baru dan tegang menumpahkan minyak ke tubuhnya sendiri.

"Ya," kata ayahnya. "Ada lagi?"

Imi berpikir, kemudian tersenyum. "Acara berburu harta karun untuk anak-anak."

"Apakah kau tidak terlalu tua untuk permainan berburu harta karun?"

"Tidak ... tidak jika acaranya di luar kota."

Raut wajah ayahnya berubah tidak setuju. "Tidak, Imi. Terlalu berbahaya."

"Tetapi, kita dapat melakukannya dengan penjagaan pengawal dan melakukannya di tempat yang—"

"Tidak," kata ayahnya dengan tegas.

Imi merengut dan memalingkan wajah. Pasti di luar tidak seberbahaya itu. Berdasarkan pembicaraan yang Imi dengar dari ruang pipa, para penyerang tidak selalu mengitari pulau-pulau sekitar. Setiap hari orang-orang dapat pergi ke darat untuk mengumpulkan makanan atau barang dagangan. Jika ada orang yang terbunuh, itu terjadi di pulau luar yang jauh dari kepulauan mereka.

"Ada lagi?" tanya ayahnya. Imi dapat merasakan keriangan yang dibuat-buat dalam suara ayahnya. Imi mengetahui kapan ayahnya berpura-pura tersenyum—ketika kerutan di sekitar mata ayahnya tidak dalam.

"Tidak ada," jawab Imi. "Hadiah yang banyak."

Kerutan di sekitar mata ayahnya kini tampak dalam.

Lihat selengkapnya