Mungkin jet lag kali ini adalah yang terparah bagi seorang Thadeus Nenggala. Sudah seminggu berlalu sejak kunjungannya ke Amerika, tapi bahkan efeknya masih begitu terasa hingga detik ini. Siang bolong begini dan ia diterjang kantuk luar biasa. Selain itu, kepalanya terasa seperti digebuki satu kampung, pusing sekali. Padahal kemarin bukan pertama kalinya ia mengunjungi negeri Paman Sam. Ia baru akan bangkit, berniat membuat secangkir kopickala bel rumahnya ditekan dengan brutal.
Deus bergerak ogah-ogahan dari kasur, melenggang keluar untuk mengecek lewat interkom. Matanya menyipit saat mendapati sosok tak terduga itu. Tak butuh banyak waktu untuk ia beringsut mendekati pintu dan membukanya.
"Thea? Lo ngapain di sini?!" Itu Theana Nenggala, adik perempuannya yang seharusnya berada di Italia saat ini.
"Gue punya anak." Itu kalimat pertama yang meluncur dari mulut adiknya. Diucapkan dengan cepat dan tegas.
Butuh beberapa detik untuk Deus mencerna kalimat Thea yang diucapkan dengan cepat dan tegas itu. "W-what?"
"Gue .. punya anak."
"Ini udah subuh dan candaan lo gak lucu. Oh, wait. Lo kebobolan sama Saka?!"
"Gue punya anak dan dia udah umur enam belas. Dia bukan anak Saka."
"The fuck?!" Mari Deus ingat-ingat. Umur Thea baru tiga puluh tiga. Memang umur yang wajar bagi seorang wanita untuk mempunyai anak pada masa itu. Namun Deus tau dengan jelas, Thea bahkan belum menikah! Dan apa katanya? Enam belas tahun? "Lo .. adopsi anak?" Itu spekulasi paling logis, kan?
"She is my biological daughter." Thea mendesah frustasi. "Alasan gue selama ini bolak-balik Italia - Jakarta adalah karena itu. Anak gue .. tinggal di sini."
Sebelum Deus semakin gila dan pusing, ia menarik adiknya masuk ke dalam. Keduanya duduk di ruang tamu dengan pencahayaan temaram. "Wait. Lo bilang, anak lo umur enam belas. So you had her when you were seventeen?!" Deus memekik tak percaya. Yang ia tau selama ini, Thea itu anak pintar yang ambisius soal prestasi. Adiknya itu selalu membanggakan. Ia bahkan mendapat beasiswa penuh untuk kuliahnya di Italia. Tapi .. kenapa? "Gue gak habis pikir."
"Gue udah hamil dua minggu saat lo, Mama, dan Papa anter gue ke bandara pas itu." Deus dapat mendengar penyesalan itu dalam getar suara Thea. "I was stupid, I know. Gue pikir, dengan gue lari ke Italia, gue bisa kubur semua masa lalu gue di Jakarta. Tapi gue gak sanggup buat bunuh janin itu."
"About your scholarship .. " Deus merasakan tenggorokannya mulai kering.
"It was true. Gue terusin kuliah gue di sana, dengan kondisi hamil. Saat gue lahiran, gue ambil cuti beberapa bulan. Setelah dia cukup besar, I sent her to Jakarta. Dia diasuh sama orang sewaan gue."
"Then, kenapa lo baru kasih tau gue sekarang? Selama ini lo udah baik-baik aja dengan nutupin itu semua, kan?" Ada sesak yang melingkupi dadanya. Deus bukan pria suci. Ia juga kerap bersenang-senang dengan dunia malam, dikelilingi oleh ratusan wanita yang dengan senang hati menyerahkan diri padanya. Tapi ini adiknya sendiri. Adik perempuan yang selalu berusaha ia lindungi.
Terdengar helaan napas berat. "Lo tau, gue udah pacaran sama Saka selama lima tahun. He proposed me a week ago." Deus mulai mengerti arah pembicaraan ini. "Saka gak tau soal ini?" Thea menggeleng pelan. Tangannya bergerak menutupi wajah. "Help me."