Bian meremas kesepuluh jarinya cemas. Sudah dua puluh menit lebih ia hanya duduk diam ditemani lagu yang mengalun dari tape. Matanya menyisiri setiap penjuru rumah besar minimalis yang berada tak jauh dari tempat mobil Thea terparkir. Ia gugup, tentu saja. Ini pertama kalinya Thea mengajaknya keluar bersama.
Entah Bian harus menghela napas lega atau panik saat melihat Thea kembali. Wanita cantik itu mengetuk kaca jendelanya. Bian membukanya.
"Ayo, turun. Om Deus mau ketemu kamu." Thea sudah memberitahunya tadi pagi. Ia akan 'dititipkan' sementara kepada pamannya. Bian tidak banyak komentar. Sudah syukur Thea tidak membuangnya ke panti asuhan. Diawali helaan napas panjang, Bian pun turun dari mobil, mengikuti langkah Thea memasuki perkarangan rumah.
Rumah ini besar, memiliki desain indah nan unik yang dalam sekali tengok dapat disimpulkan kalau pemiliknya bukan orang sembarangan. Selama ini, Bian tidak pernah bertemu dengan keluarga Thea. Yang ia tau, Thea itu putri konglomerat yang sejak lahir sudah dicekoki sendok emas. Jadilah ia gugup setengah mati. Bagaimana kalau ia ditolak? Bagaimana kalau pamannya itu tidak mau menerimanya?
Mereka memasuki area rumah. Ubin dingin yang terbuat dari marbel langsung merayapi telapak kaki Bian yang sudah tidak dilapisi sepatu. Pemandangan seorang pria dengan kaos putih polos dan celana training hitam yang tengah duduk santai di atas sofa menyambutnya.
Saat Thea mengatakan 'paman', yang Bian bayangkan ialah sosok paruh baya yang memiliki aura kebapakan, bukannya seseorang pria muda dengan tampang songong luar biasa yang kini memberinya sorot penuh selidik.
"Kak, ini Bianca. Bian, ini Om Deus."
Thadeus Nenggala berdiri, berjalan mendekat ke arah keduanya. Bian sudah hampir bergerak mundur saat Deus mendekatinya, namun nyatanya, pria itu hanya menyodorkan telapak tangannya untuk dijabat.
"Deus. Jangan panggil gue 'om' karena gue gak setua itu." See? Persis seperti mukanya yang sengak, cara bicara Deus sangat menyebalkan!
Bian menahan diri untuk tidak mendengus. Mengingat umur Thea yang sudah menginjak tiga puluh tiga, itu berarti Deus setidaknya satu tahun (atau bahkan lebih dari itu) lebih tua dari Thea. Bagaimana bisa Deus mengatakan kalau ia tidak layak dipanggil om-om? Narsis sekali.
"Bian." Ia menjabat tangan itu cepat, segera menariknya kembali.
"Great. Sekarang kalian udah saling kenal. Mama harap, kamu bisa tinggal dengan nyaman di sini, ya, Sayang. Mama janji akan sering-sering nengok kamu." Thea mengusap kepala Bian, tersenyum manis. "Jangan ngerepotin Om Deus, ya?"
Bian hanya mengangguk.
"Kalo gitu, Mama tinggal, ya?"
Pertanyaan retoris. Karena sekalipun Bian merengek kepada Thea untuk menetap, wanita yang ia panggil 'mama' itu tetap akan berbalik dan pergi.
*
Tepuk tangan untuk Deus karena berhasil menguasai dirinya sendiri. Ia ogah terlihat canggung dan memalukan di depan bocah SMA yang bernotabene sebagai keponakannya itu.
"Lo beneran anak kandung adek gue?" Pertanyaan itu sudah telontar tiga kali sejak perjalanan mereka menuju kamar tamu.
"Om mau saya tes DNA sama Mama?" Pertanyaan itu diutarakan dengan sarkas, membuat Deus refleks memutar bola mata.
"Jangan panggil gue om!"
"Emang udah om-om, toh?" Tadinya, Deus kira Bian adalah anak manis yang tidak suka banyak bicara. Namun sepertinya ia salah menilai. "Kok gak sadar umur?"
"Keturunan siapa sih mulut lo itu? Perasaan adek gue kalem, dah!"
"Oh? Mungkin Papa saya." Bian menjawab acuh.
Deus terdiam sebentar, berdeham canggung setelahnya. "Lo tau siapa bokap lo?" Ia melirik anak itu lewat sudut matanya, mendapati Bian sedang kesusahan mengangkat koper menaiki tangga spiral yang akan membawa mereka ke lantai dua. Tadinya ia berinisiatif membantu, namun urung saat Bian menjawab pertanyaannya.
"Gak penting juga. Saya gak kepengin tau."
"Kenapa? I mean, lo gak niat nuntut hak lo gitu?" Langkah Deus terhenti, membuat Bian ikutan berhenti untuk memberi sorot heran padanya.