Latte di Antara Kita

slya
Chapter #8

Cobaan Atte

Dua bulan kemudian... Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Sudah dua bulan Atte menjalani aktivitasnya sebagai mahasiswi Kedokteran dengan begitu banyak tugas yang selalu dia dapatkan setiap harinya. Memang tidak semudah yang Atte bayangkan untuk berkuliah di jurusan ini, terutama karena saat SMA, Atte sangat tidak menyukai pelajaran yang berhubungan dengan IPA. Namun, seiring berjalannya waktu, Atte mencoba keluar dari zona nyamannya. Tujuannya mengambil jurusan ini tidak lain dan tidak bukan karena ia ingin menjadi dokter spesialis Jantung, keinginan yang muncul setelah mengetahui bahwa ayahnya memiliki penyakit jantung.

Selama dua bulan ini, Atte sama sekali tidak melihat dan tidak mendengar kabar tentang Aga.

"Di mana Aga? Bagaimana kabar Aga?" itulah pertanyaan yang selalu terlintas di dalam pikiran Atte.

"Atte, hari ini bisa ke kafe?" tanya Om Rudi, mengalihkan pikiran Atte.

"Jam berapa, Om? Aku ada kelas jam 8 pagi," sahut Atte seraya mengambil nasi dan meletakkannya di piring.

"Sekarang masih jam 06.30, sayang. Kamu sudah rapi, memang mau berangkat lebih awal?" kata Mayang sambil menyimpan makanan di atas meja.

"Atte mau ke kosan Fazza dulu, Tan. Mau kerja kelompok," jawab Atte.

"Gimana kuliah kamu, lancar, sayang?" tanya Om Rudi dengan perhatian.

Atte perlahan menelan makanan yang ia kunyah. "Lancar, Om. Tapi ya begitu, namanya juga mahasiswa baru, ya harus menyelesaikan semua tugas kaderisasi jurusan yang diberikan oleh kakak tingkat," ucap Atte sambil menghela nafas.

Sejujurnya, Atte malas sekali mengikuti semua rangkaian kaderisasi. Pasalnya, mahasiswa baru selalu diberi tugas, entah itu meminta tanda tangan dari kakak tingkat, merangkum kegiatan yang diselenggarakan oleh jurusan, dan belum lagi setiap pekan harus kumpul dengan agenda masa bimbingan (mabim) mahasiswa baru.

"Ya sudah, hati-hati ya, Atte. Om dan Tante selalu mendoakan Atte semoga dilancarkan dalam segala urusan," ucap Rudi.

Setelah selesai makan, Atte berpamitan kepada Rudi dan Mayang. Dengan raut wajah muram, sepanjang jalan pikiran Atte dipenuhi oleh Aga. Pertanyaan tentang Aga selalu terlintas dalam benaknya. Apa yang harus Atte lakukan? Wajarkah Atte masih berharap pada Aga?

Lihat selengkapnya