Setiap malam kita tidur tanpa mengetahui keesokan harinya terbangun atau tidak, tetapi kita selalu memasang Alarm. Itulah Harapan.
"Akhirnya selesai juga," gumam Fazza, menghela nafas lega setelah menyelesaikan tugasnya. Dia memalingkan wajah ke arah kanan, di mana sahabatnya, Atte, tertidur lelap. Fazza tidak butuh banyak kata untuk merasakan apa yang dirasakan Atte saat ini. Meskipun tidak mengetahui secara pasti kisah antara Atte dan Agga, Fazza bisa merasakan betapa sulitnya baginya untuk melupakan seseorang yang begitu penting. Dalam kesunyian yang menyelimuti mereka, Fazza memutuskan untuk menghormati ruang pribadi sahabatnya, memberikan dukungan tanpa syarat.
Dengan lembut, Fazza menyelimuti Atte dengan selimut berwarna dan motif karakter Doraemon, sesuai dengan kesukaannya. Sambil menunggu Atte bangun dari tidurnya, Fazza dengan hati-hati bergegas ke dapur untuk menyiapkan hidangan favoritnya, mengingat bagaimana makanan sering menjadi cara Fazza untuk mengekspresikan perhatiannya dan membangkitkan semangat di antara mereka.
***
Tiga pekan telah berlalu sejak Aga menghilang tanpa jejak. Atte terus mencari keberadaannya dengan sia-sia, mengumpulkan informasi dari teman-teman sekelasnya tanpa hasil. Kini, dia hanya bisa berharap Aga dalam perlindungan Tuhan, dimanapun Aga berada.
"Ya Tuhan, sudah begitu banyak kekecewaan yang aku rasakan. Apakah ini masih belum cukup untuk aku bisa merasakan bahagia?" desah Atte, air mata mengalir tak tertahankan lagi di wajahnya yang basah oleh tetesan air.
"Mana janji kamu, Ga? Apa semua laki-laki hanya akan mengecewakan seperti ini?" serunya sambil memanggil nama Aga. Wajahnya penuh dengan keputusasaan, terlihat betapa dalamnya luka yang ia rasakan.
Atte menyalakan air kran toilet kampus, memastikan tidak ada yang mendengar tangisannya yang putus asa. Raut wajahnya mengisyaratkan ketakutan dan kebingungan yang tak terhingga, tubuhnya gemetar tak terkendali.
"AKU BENCI SAMA KAMU, AGA!" teriaknya, diiringi suara air yang masih mengalir deras di kamar mandi itu.
Sementara itu, di ruang kelas, Fazza mulai cemas. Atte belum kembali ke kelas, bahkan sudah lebih dari satu jam lamanya. Dia memutuskan untuk mengecek toilet yang tak jauh dari kelas mereka.
Fazza berjalan menuju toilet, merasa aneh dengan suara air yang terus mengalir layaknya seseorang sedang mandi di dalam sana. Ketika dia mencapai pintu toilet, dia mengetuk pelan.
"Ada orang di dalam?" tanyanya, mencoba mencari jawaban dari seberang pintu. Tapi tak ada jawaban, hanya suara air yang mengalir terus.
Dia mengetuk pintu beberapa kali lagi, semakin khawatir dengan keadaan sahabatnya. Namun, masih tidak ada respons. Akhirnya, suara air berhenti, membuat Fazza semakin gelisah.
Saat pintu toilet terbuka, Fazza terkejut melihat Atte keluar dengan wajah pucat dan basah kuyup.
"Attteeeee!" serunya, lalu segera memeluk Atte dengan erat. "Kenapa kamu begini?"
Atte hanya bisa menangis dalam pelukan Fazza, merasa lega karena ada sahabat yang peduli dengan keadaannya.
***
Satu minggu berlalu, Atte masih belum pulih sepenuhnya. Dia tetap tinggal di rumah untuk istirahat, meskipun Fazza dengan setia menjaganya dan membantunya mengatasi tugas kuliah yang tertunda.
Suatu hari, ketika Fazza sedang menuliskan catatan untuk Atte, Atte tiba-tiba bertanya, "Fazza, Aga masih belum terlihat di kampus ya?"
Fazza menghentikan pena dan memandang sahabatnya dengan ekspresi campuran antara kesal dan prihatin. "Atte, kenapa kamu terus mencari Aga? Bukankah sudah jelas dia tidak menghargai perasaanmu?"
Mendengar itu, Atte terdiam. Bukan karena kata-kata Fazza, melainkan karena dia merasa heran. "Kenapa kamu memanggil saya dengan 'Lo' dan 'gue' tadi?"
Fazza tersenyum getir, "Karena aku merasa marah melihat kamu terus menyakiti dirimu sendiri dengan berharap pada seseorang yang tidak pantas untukmu."
Atte terkejut dengan perubahan sikap Fazza, namun dia tahu bahwa sahabatnya hanya ingin yang terbaik untuknya. "Maafkan aku, Fazza. Aku akan mencoba untuk berhenti berharap padanya," ucap Atte.
Fazza memeluk Atte erat-erat. "Kamu tahu, aku selalu ada untukmu. Kamu sangat berharga."
Atte tersenyum kecil, merasakan kehangatan dalam pelukan sahabatnya. "Terima kasih, Fazza. Maaf telah merepotkanmu."
"Kita adalah sahabat, Atte. Kita selalu saling mendukung," jawab Fazza sambil memeluk Atte dengan penuh kasih sayang.
Mereka berdua tertawa bersama, merasa lega karena bisa mengatasi masalah bersama-sama. Waktu berlalu dengan tenang, sementara mereka menikmati momen indah itu di balik jendela kamar Atte, dan suara panggilan dari luar kamar menandakan waktu untuk makan malam bersama.
"Ini waktu kita, Atte. Mari kita turun dan makan bersama-sama," ajak Mayang, Tante Atte.
"Iya, Ma," jawab Atte.
"Za, ikutlah turun juga," sambung Mayang..