Latte di Antara Kita

slya
Chapter #11

Apakah sudah bisa melupakan Aga?

Tradisi Jumat sore berkumpul di kafe milik Atte terus berlangsung. tak terasa perhabatan Atte, Alden, dan Fazza sudah terjalin selama 1 tahun lamanya. Di sudut kafe yang selalu ramai, aroma kopi dan tawa riang mengisi ruangan setiap kali mereka bertemu. Kini mereka bertiga telah memasuki semester keempat. Semester baru bukanlah waktu untuk bermalas-malasan, setiap harinya dipenuhi dengan tugas-tugas, laporan dan praktikum yang seolah tak ada habisnya.

Sambi menyeruput Matcha Latte, Atte teringat akan perkatannya mengenai berkuliah di jurusan kedokteran "begitu menyenangkan dan juga menegangkan," katanya. "Kita harus siap mental dan juga fisik dengan berbagai macam tugas dan praktikum yang membutuhkan sekali energi untuk menyelesaikannya."

Alden, yang sedang memeriksa catatan kuliahya, mengangguk setuju. "Benar sekali, Atte. Tugas-tugas ini kadang terasa seperti tidak ada habisnya. Tapi, aku senang kita punya waktu untuk berkumpul di sini."

Fazza tersenyum lebar. "Kafe ini sudah seperti rumah kedua. Setiap Jumat sore kita selalu menantikan saat-saat seperti ini. Melepaskan penat setelah seminggu penuh dengan jadwal yang padat."

Mereka bergita tertawa, mengingat kembali momen-momen lucu selama satu tahun terakir. Bagaimana mereka pertama kali bertemu di kafe ini dan pada kelas biokimia, kebingungan mencari ruang praktikum, hingga akhirnya menemukan kafe sebagai tempat pelarian mereka dari kepenatan kuliah.

"Atte, kau ingat pertama kali kita bertabrakan di sini?" tanya Alden sambi tersenyum.

"Bagaimana mungkin aku lupa?" jawab Atte. "Kamu datang dengan wajah stres memikirkan kelompok praktikum biokimia. Aku ingat sekali, Fazza yang fokus membolak-balikan modul dan kamu yang memesan matcha latte dan jugga caramel machiato serta berkarta kalau kafe ini adalah penyelamat."

"Dan memang benar,"" sambung Fazza. "Kade ini menjadi tempat kita berbagai cerita, saling mendukung, dan yang terpenting, menjadi sahabat."

Atte tersenyum, merasa bangga kafenya bisa memberikan lebih dari sekadar tempat ngopi. “Aku juga merasa beruntung punya kalian. Kita mungkin sibuk dengan tugas dan praktikum, tapi aku tahu kita selalu bisa mengandalkan satu sama lain.”

Jumat sore itu berakhir dengan hati yang hangat dan semangat yang baru. Mereka tahu, perjalanan masih panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan persahabatan yang mereka miliki, tidak ada yang tidak bisa mereka hadapi. Tradisi Jumat sore di kafe Atte bukan sekadar kebiasaan; itu adalah simbol kekuatan persahabatan yang terus tumbuh dan mengakar kuat, seiring dengan langkah mereka mengejar impian di dunia kedokteran.

Saat mereka melangkah keluar dari kafe, senja mulai turun, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti kota. Alden menghela napas dalam-dalam, merasa siap menghadapi minggu-minggu mendatang. Fazza menatap langit, merasakan kedamaian yang hanya bisa ditemukan di tengah kesibukan yang mereka jalani. Dan Atte, dia menatap kafenya yang semakin ramai, merasa bangga kepada ayahnya yang telah menbangun usaha ini bersama dengan Om Rudi pamannya telah menciptakan tempat di mana persahabatan mereka bisa tumbuh dan berkembang.

Mereka bertiga tahu, apa pun yang terjadi, mereka akan selalu memiliki Jumat sore di kafe Atte. Dan itu, lebih dari cukup untuk membuat mereka terus melangkah maju, menggapai mimpi dan cita-cita mereka bersama.

Satu tahun merupakan waktu yang tidak singkat bagi Atte. Setiap detik yang berlalu degan upaya untuk berdamai dengan kehilangan sosok Aga, seorang yang mungkin masih dia dambakan kehadirannya. Namun, seiring berjalannya waktu, Atte sadar bahwa dirinya bukanlah prioritas Aga.

Di awal perpisahan mereka. Atte sering kali merasa kosong. Di samping dia berkuliah Atte juga ikut andil mengelola tempat warisan ayahnya. Setiap Atte terdiam dia selalu teringat kenangan manis mereka tersimpan di setiap sudut memori hati Atte seolah-olah menghantui dan mengingatkannya pada hari-hari yang telah berlalu. Atte teringat betapa Aga selalu memesan Latte Machiato dengan extra foam. Setiap kali melihat daftar menu yang terpampang jelas di dnding dekat barista, ia terbayang senyuman Aga yang begitu cerah saat mereka mengobrol berjam-jamlamanya.

Namun hidup terus harus berjalan. Atte mencoba menemukan kekuatan dirinya untuk melangkah maju. Dia mulai memfokuskan energi dan pehatiannya pada kuliahnya dan kafenya, mengubahnya menjadi tempat yang ramai dan penuh kehidupan dibantu oleh pamannya Rudi yang selalu siap mengurus semua perlengkapan Kafe selagi Atte padat dengan kesibukannya di kampus. Mengelola kafe menjadi pelariannya, tempat ia bisa menuangkan perasaan dan pikirannya. Setiap cangkir kopi yang ia sajikan, setiap senyum yang ia berikan kepada pelanggan, semuanya adalah cara Atte untuk memulihkan hatinya yang luka.

Lihat selengkapnya