Latte di Antara Kita

slya
Chapter #12

Haruskah berbohong seperti itu?

Atte pulang dari kampus dengan langkah ringan, mengira hari ini akan seperti biasanya. Ia membayangkan rutinitas sore yang tenang, secangkir teh hangat, dan buku kesukaannya. Namun, ketika ia membuka pintu rumah Tante Mayang, ia mendapati pemandangan yang membuatnya terpaku. Di sana, di ruang tamu yang akrab, duduk seseorang yang sudah lama tak ia lihat ibunya.

Setelah satu tahun tanpa kabar, kehadiran ibunya saja sudah cukup untuk membuat Atte bingung dan emosional. Tapi, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Perut ibunya membuncit besar, seperti seseorang yang sedang mengandung. Atte terdiam di ambang pintu, berusaha mencerna apa yang dilihatnya.

"Atte, Nak!" seru ibunya dengan senyum yang terasa asing dan familiar sekaligus.

Atte mendekat, tapi pandangannya terpaku pada perut ibunya yang besar. Pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin? Mengapa tidak ada yang memberitahunya? Apakah ibunya menikah lagi? Jika ya, mengapa tidak ada kabar atau undangan?

Dengan suara bergetar, Atte berusaha mengendalikan rasa terkejutnya. "Ibu... Apa yang terjadi? Mengapa perut Ibu...?"

Ibunya menatapnya dengan mata yang menyiratkan campuran kegembiraan dan kebingungan. "Atte, Ibu akan jelaskan semuanya. Tapi, yang penting sekarang adalah bahwa Ibu sangat merindukanmu."

Atte hanya bisa berdiri di sana, antara kebahagiaan karena bertemu kembali dan kebingungan yang menyesakkan dada. Jawaban yang ia butuhkan masih tersembunyi, dan ia tak tahu harus bagaimana menerima semua ini.

Perasaan Atte berkecamuk saat melihat ibunya duduk di ruang tamu Tante Mayang dengan perut yang membesar. Kebahagiaan yang seharusnya dirasakannya saat bertemu kembali dengan ibunya setelah setahun lamanya, kini terhalangi oleh rasa kecewa dan sedih yang mendalam.

Di dalam hatinya, Atte merasa seperti menghadapi seorang asing; ibunya yang dulu ia kenal kini tampak seperti orang lain, hidup dalam dunia yang sama sekali berbeda.

Setelah sejenak tertegun di pintu, ia berusaha mencari penjelasan dalam mata ibunya, namun yang didapatnya hanya kegugupan. “Jadi, ini alasan ibu mengirimku ke Jakarta untuk tinggal dengan Paman dan Tante?” pikir Atte dalam hatinya, air matanya mulai menggenang. “Agar ibu bisa bersenang-senang dengan keluarga barunya?"

Kenyataan itu terasa sangat tidak adil. Sejak kepergian ayahnya, Atte merasakan kehilangan yang mendalam, dan kini ibunya yang ia harapkan menjadi sandaran ternyata hidup dalam kebahagiaan barunya, seolah-olah meninggalkan Atte untuk memulai babak hidup yang sama sekali baru tanpa dirinya. Tanpa sepatah kata lagi, dengan wajah yang sarat emosi, Atte berbalik dan bergegas masuk ke kamarnya.

"Atte, dengarkan Mama dulu, Mama mohon!" suara ibunya terdengar penuh harap saat Atte berbalik hendak meninggalkan ruang tamu.

Namun, Atte tak bisa menahan gejolak emosinya. Dia mempercepat langkah menuju kamarnya, hati dan pikirannya seakan meledak dengan berbagai perasaan yang tak teratur. "Tidak sekarang, Bu," katanya dengan suara parau, tanpa menoleh lagi.

Ibunya, Wulan, bangkit dari kursinya dengan mata yang penuh kecemasan, ingin mengejar dan menjelaskan. Tetapi Tante Mayang segera menahan lengannya dengan lembut. "Mba, beri dia waktu," katanya dengan suara lembut namun tegas. "Atte butuh ruang untuk mencerna semua ini."

Wulan mengangguk pelan, air mata berlinang di pipinya. "Aku hanya ingin dia mengerti, Mayang. Aku tidak pernah ingin menyakitinya."

"Aku tahu," jawab Mayang sambil merangkul bahu Wulan. "Dia pasti merasa sangat terkejut dan bingung. Kita harus bersabar dan menunggunya siap untuk bicara."

Di dalam kamarnya, Atte menutup pintu dengan keras, seakan ingin menutup dunia luar dan segala kekacauan yang dibawanya. Dia terisak di tepi tempat tidur, merasa terombang-ambing antara marah dan hancur. Pikiran tentang ibunya yang seolah-olah hidup bahagia dengan keluarga baru tanpa memperhatikan perasaannya membuat dadanya terasa sesak.

Lihat selengkapnya