Latte di Antara Kita

slya
Chapter #13

Aku akan selalu ada Untukmu, Atte

Malam itu, kafe semarak dengan obrilan dan tawa pengunjung yang menghangatkan suasana, Atte meski tubuhnya terasa sangat lelah setelah seharian penuh di kampus, memilih untuk tetap sibuk membantu Om Rudi di Kafe. Emosinya yang sedang tidak stabil memicu keinginanya untuk bekerja, seolah-olah kesibukannya itu bisa menenggelamkan kegelisahan yang bergejolak di dalam hatinya.

"Atte, bisa bantu buat kopi spesial untuk meja tujuh?" panggil Om Rudi dari belakang mesin kasir, senyum ramah menghiasi wajahnya.

"Siap, Om!" Atte menjawab dengan semangat yang dipaksakan, mengambil alin mesih espressso dan memulai meracik kopi. Tangannya bekerja lincah mengaduk campuran susu dan espresso dengan cermat, menghasilkan secangkir Latte dengan seni Latte art yang sederhana namun menawan.

Dia berusaha mengalihkan pikirannya dari semua kekacauan emosional dengan melayani setiap pesanan yang datang. Setiap kopi yang dibuatnya, setiap senyuman yang diberikan kepada pelanggan, seolah menjadi cara baginya untuk menemukan sedikit kedamaian dalam kekecewaan batinnya. Setelah menyelesaikan beberapa pesanan, Atte melangkah menuju menja sebelah kanan paling pojok untuk mengantarkan kopi pesanan. Saat mendekati meja itu, matanya menangkap sosok yang fimiliar, seorang laki-laki yang sedang duduk sendirian dengan laptop terbuka di depannya. Itu adalah Alden sahabatnya.

Atte merasa terkejut melihat Alden di kafe. Dia tidak menerima pesan atau kabar apapun sebelumnya yang mengindikasikan Alden akan datang. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Pertanyaan itu menggelayut di benaknya, tapi saat ini, keberadaan Alden di kafe terasa seperti kehadiran yang sangat dibutuhkan di tengah malam yang penuh dengan emosi.

Menyadari tatapan Alden yang tertuju padanya, Atte merasakan bahwa Alden pasti bisa melihat ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Raut wajahnya tak bisa menyembinyikan pergolakan emosi yang sedang dia rasakan.

"Atte kamu baik-baik saja?" tanya Alden dengan lembut, suaranya penuh perhatian dan kekhawatiran. "Kamu terlihat... seperti ada yang sangat berat di pikiranmu. Mau cerita ke aku?"

Atte mengangguk, meskipun masih ada keraguan dalam hatinya. "Kita bisa bicara setelah aku mengantarkan pesanan ini, Alden," jawabnya, berusaha menenangkan diri sambil meraih nampan dengan beberapa cangkir kopi untuk diantarkan ke meja pelanggan berikutnya.

Setelah mengantarkan pesanan terakhir dan melihat kafe mulai sepi, Atte berjalan kembali menuju meja Alden. Langkahnya lambat, seolah-olah setiap langkah membawa beban berat yang harus ditanggungnya. Dia duduk di hadapan Alden, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak menentu.

Alden menatapnya dengan mata penuh pengertian. "Apa yang terjadi, Atte? Kamu bisa ceritakan semuanya. Aku di sini untukmu."

Mendengar kata-kata itu, benteng yang selama ini dibangun Atte untuk menahan emosinya runtuh begitu saja. Dengan napas tertahan, dia mulai bercerita, suaranya tergetar. "Aku... aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Setahun yang lalu, ibuku mengirimku ke Jakarta untuk mengurus kafe ini setelah ayah meninggal. Dia bilang itu untuk kebaikanku, tapi yang sebenarnya, dia melarangku untuk berkuliah."

Lihat selengkapnya