Latte di Antara Kita

slya
Chapter #14

Kenyataan Pahit

Meskipun Atte sibuk dengan berbagai aktivitasnya, tak dapat dipungkiri bahwa kenangan tentang Aga sering kali menghampirinya. Ada rasa rindu yang terselip di hati Atte untuk Aga, namun rasa rindu itu tak bisa terobati karena Atte tak mengetahui di mana Aga berada.

Siang itu, kampus dikejutkan dengan berita kematian salah satu dosen kedokteran. Kegiatan pembelajaran pun diberhentikan sementara. Mendengar kabar tersebut, Atte memutuskan untuk memanfaatkan momen ini untuk mencari tahu tentang keberadaan Aga. Ia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk menghilangkan rasa penasarannya. 

Atte bergegas menuju badan akademik kampus. Hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah Aga benar-benar sudah tidak aktif lagi di kampus ini? Atte berharap dengan mendapatkan informasi yang jelas, rasa rindu dan penasaran yang selama ini mengganggunya bisa sedikit terobati.

Atte berjalan cepat menuju kantor badan akademik kampus, hatinya penuh dengan berbagai pertanyaan dan perasaan cemas. Sesampainya di sana, dia melihat seorang staf duduk di balik meja resepsionis. Dengan hati-hati, Atte menyapa staf tersebut.

"Selamat siang, Bu," kata Atte dengan suara bergetar. "Saya ingin menanyakan tentang seorang mahasiswa bernama Raga Fatih Alaksa. Apakah dia masih aktif di kampus ini?"

Staf tersebut mengangkat pandangannya dari layar komputer dan menatap Atte dengan cermat. "Selamat siang. Mohon maaf, kami tidak dapat memberikan informasi tentang mahasiswa tanpa mengetahui lebih detail alasan Anda menanyakan hal ini. Apa ada keperluan mendesak?"

Atte menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Saya teman dekatnya, Bu. Sudah lama kami tidak berkomunikasi, dan saya sangat khawatir. Saya hanya ingin memastikan apakah dia masih berkuliah di sini."

Staf itu tampak ragu sejenak. "Baik, tapi kami perlu mengetahui lebih jelas alasan Anda mencari dia sekarang. Apa yang membuat Anda merasa perlu menanyakan hal ini ke kampus?"

"Sebenarnya, kami sudah lama tidak bertemu dan dia tidak pernah memberi kabar. Saya sudah mencoba menghubunginya melalui telepon dan media sosial, tapi tidak ada balasan sama sekali. Saya khawatir ada sesuatu yang terjadi padanya," jelas Atte dengan nada serius.

Staf tersebut mengangguk pelan. "Baiklah, saya akan melihat datanya sebentar."

Staf itu mulai mencari informasi di komputer, sementara Atte menunggu dengan gelisah. Setelah beberapa saat, staf itu menghela napas dan menatap Atte dengan wajah serius.

"Raga Fatih Alaksa telah resmi mengundurkan diri dari kampus ini beberapa bulan yang lalu. Saya tidak bisa memberikan detail lebih lanjut, tapi itulah informasi yang bisa saya berikan," kata staf tersebut dengan nada tenang.

Atte merasa dunianya seakan runtuh mendengar kabar itu. Dia tidak percaya bahwa Aga, sahabatnya yang begitu dekat, memilih untuk menyembunyikan sesuatu yang sebesar ini darinya.

"Terima kasih banyak, Bu," ujar Atte dengan suara parau.

Dia beranjak pergi dengan perasaan campur aduk. Atte merasa bahwa kali ini Aga benar-benar sudah tidak menganggapnya lagi. Hal seperti ini saja Aga sembunyikan dari dirinya. Dengan langkah yang berat, Atte meninggalkan kantor akademik, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya.

Setelah keluar dari kantor akademik mahasiswa, Atte memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Kali ini, dia benar-benar ingin sendirian. Baginya, tidak ada gunanya pulang karena di sana masih ada mamahnya yang membuat Atte kecewa. Atte merasa dirinya berhak merasakan kekecewaan itu setelah apa yang selama ini mamahnya lakukan terhadapnya. Hidupnya seolah terkekang, tidak diberi ruang untuk bernapas. Satu-satunya yang Atte tahu, hanya ayahnya, Tante Mayang, dan om Rudi yang benar-benar menyayanginya, serta kedua sahabatnya, Alden dan Fazza, yang selalu ada untuknya.

Lihat selengkapnya