Setelah beberapa saat merenung, Atte memutuskan untuk menghubungi seseorang yang dia percaya. Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik pesan. Kali ini, dia tidak mengirimkannya ke grup yang berisi Fazza dan Alden, tetapi hanya mengirim pesan kepada Fazza saja. Fazza adalah sahabat yang paling memahami situasinya dengan Agga dan tahu betul apa yang sedang dia hadapi.
"Faz, kamu ada waktu nggak? Aku lagi butuh teman ngobrol. Banyak banget yang pengen aku ceritain, terutama soal Agga. Lagi di mall, sendirian. Bisa ke sini nggak?"
Atte menekan tombol kirim dan menunggu dengan harap-harap cemas. Fazza selalu menjadi pendengar yang baik, dan Atte tahu bahwa dia bisa mengandalkannya di saat-saat seperti ini. Fazza adalah orang yang selalu ada di sisinya, terutama dalam menghadapi permasalahan yang melibatkan perasaan dan hubungan.
Sambil menunggu balasan, Atte memandang sekitar, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang di depan mall. Dia merasa sedikit lebih tenang setelah mengirim pesan itu. Meskipun masalahnya belum terselesaikan, setidaknya dia telah mengambil langkah pertama untuk mencari dukungan.
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi menandakan pesan masuk. Atte segera membuka pesan dari Fazza yang membuat hatinya sedikit lega.
"Aku ada waktu, kok. Tunggu sebentar ya, aku segera ke sana. Tetap di tempat aman. Aku akan cari kamu di depan mall."
Membaca balasan Fazza, Atte merasa ada secercah harapan. Setidaknya dia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini. Dengan kehadiran Fazza, dia yakin bisa mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinya. Atte menunggu dengan sabar, mencoba menikmati udara malam sambil menanti kedatangan sahabatnya.
Fazza tiba di mall setelah 30 menit berkendara. Hujan gerimis mulai turun, menambah suasana dingin di sore itu. Setelah memarkir motornya, Fazza segera bergegas masuk ke dalam mall. Langkahnya dipercepat saat ia melihat sosok yang familiar di kejauhan.
Di sudut dekat pintu masuk, tepat di samping salah satu kafe, Fazza melihat Atte duduk sendirian di sebuah kursi. Atte tampak termenung, matanya tertuju pada keramaian yang lalu-lalang tanpa benar-benar melihat. Tanpa ragu, Fazza langsung menghampiri temannya itu.
"Atte, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Fazza dengan nada khawatir.
Atte tersentak sedikit dari lamunannya. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Fazza berdiri di depannya. Wajahnya yang semula muram perlahan berubah cerah dengan senyuman kecil.
"Oh, Fazza. Aku hanya sedang butuh waktu sendiri. Ada banyak yang terjadi belakangan ini," jawab Atte pelan.
Atte terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan energi untuk bercerita mengenai hal ini. Namun, beban di hatinya terasa begitu berat dan dia tak lagi mampu menahannya. Dengan napas berat, Atte mulai menceritakan apa yang dia ketahui tentang Aga.
"Fazza," kata Atte dengan suara yang hampir bergetar, "Aku sudah mencari tahu tentang status kemahasiswaan Aga ke Kantor Akademik Mahasiswa. Ternyata, statusnya sudah tidak aktif. Dia bukan lagi mahasiswa di Universitas Irtanda."
Mendengar ini, Fazza terlihat terkejut. "Apa? Benarkah?" tanyanya dengan nada yang penuh perhatian.
Atte mengangguk pelan. "Ya, dan yang membuatku sedih adalah Aga tidak pernah memberitahuku tentang hal ini. Aku merasa dikhianati."
Fazza menatap Atte dengan penuh empati. Dia merangkul bahu Atte, mencoba memberikan dukungan. "Atte, aku tahu ini sangat berat untukmu. Tetapi, terus memikirkan Aga dan mencoba mencari tahu keberadaannya hanya akan merusak mentalmu. Kamu harus berhenti memikirkan dia dan fokus pada pendidikanmu. Aku yakin, kamu akan menemukan seseorang yang lebih baik daripada Aga."
Atte menunduk, meresapi kata-kata Fazza. "Mungkin kamu benar, Fazza. Terima kasih atas nasihatmu."
Fazza tersenyum, mencoba menguatkan Atte. "Aku selalu di sini untukmu, Atte. Mari kita fokus pada masa depan dan hal-hal yang lebih positif. Kamu pasti bisa melewati ini."
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 dan mal semakin sepi. Fazza merasa saatnya mereka pulang. "Ayo Atte, kita pulang sekarang," ajak Fazza, suaranya terdengar khawatir.
Namun, Atte hanya menggeleng pelan. "Aku belum siap pulang ke rumah Tante Mayang," jawabnya lirih. "Di sana ada Mamah.
Fazza terkejut mendengar jawaban Atte. "Mamahmu? Sejak kapan ibumu di Jakarta? Kenapa kamu nggak bilang apa-apa padaku?"
Atte terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku baru tahu kemarin, dan aku sendiri belum siap ketemu beliau. Banyak hal yang harus aku pikirkan dulu."
Melihat wajah Atte yang penuh keraguan, Fazza tahu dia harus mengambil keputusan. "Tapi ini sudah larut malam, kita nggak bisa tetap di sini. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata Fazza tegas.
Atte kembali menggeleng, meski terlihat gamang. "Aku nggak bisa pulang, Fazza."
Akhirnya, Fazza menghela napas panjang dan mencoba mencari solusi lain. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang ke kosanku saja? Setidaknya kamu bisa istirahat dengan tenang, dan besok kita bisa pikirkan lagi apa yang harus dilakukan."
Atte memandang Fazza, ragu-ragu tapi kemudian mengangguk pelan. "Baiklah, terima kasih, Fazza."
Dengan itu, mereka berdua meninggalkan mal yang sudah hampir kosong, menuju kosan Fazza di tengah malam yang semakin dingin.
Di rumah, Tante Mayang duduk gelisah di ruang tengah setelah menidurkan anaknya. Jam dinding terus berdetak, semakin membuat suasana malam semakin sunyi. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, bayangan Atte yang belum juga pulang membuatnya tak bisa tenang.
Sesekali, Tante Mayang melirik ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Atte, tapi layar ponselnya tetap kosong. "Kenapa Atte belum juga pulang?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.