Atte berdiri di depan pintu kos Alden dan merasakan campuran emosi yang mendalam. Hari itu, ia telah menemukan kebenaran tentang keberadaan Aga, dan kini saatnya untuk pulang. Dengan perasaan berat namun penuh rasa syukur, Atte berpamitan kepada dua sahabatnya yang setia menemani di setiap langkah perjalanan ini.
"Faza, Alden, aku harus pulang sekarang," kata Atte dengan suara lembut namun tegas. "Tante pasti sangat khawatir, dan aku juga harus memastikan mamah baik-baik saja."
Faza mengangguk sambil tersenyum, meski matanya menunjukkan sedikit rasa sedih. "Kami mengerti, Atte. Kamu harus pulang. Keluarga adalah yang terpenting."
Alden, yang biasanya ceria, tampak lebih serius. "Kita selalu ada untukmu, Atte. Jangan ragu untuk menghubungi kami kalau kamu butuh sesuatu."
Atte tersenyum hangat, merasakan betapa beruntungnya memiliki sahabat seperti mereka. "Terima kasih banyak, Faza, Alden. Kalian sudah banyak membantuku, selalu ada di saat aku bersedih. Aku tidak tahu bagaimana bisa melewati semua ini tanpa kalian."
Mereka bertiga berpelukan erat, menguatkan satu sama lain sebelum Atte melangkah pergi. Dengan berat hati namun penuh harapan, Atte meninggalkan rumah itu, membawa serta dukungan dan cinta dari sahabat-sahabat terbaiknya.
Di tengah perjalanan pulang, Atte tak bisa menahan bayangan wajah Tantenya yang pasti panik mencarinya. "Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Tante?" pikirnya. Selain itu, Atte juga teringat kondisi mamahnya yang sedang mengandung. Meskipun banyak hal yang telah terjadi antara mereka, Atte tidak bisa memungkiri perasaan sayangnya kepada sang ibu. Bagaimanapun juga, mamahnya adalah wanita yang telah melahirkannya dan memberikan hidup kepadanya.
Sesampainya di depan pintu rumah, Atte berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan memberanikan diri untuk masuk. Dia harus menghadapi kekhawatiran Tantenya dan memastikan mamahnya baik-baik saja. Tidak peduli seberapa berat situasinya, keluarga adalah segalanya bagi Atte.
Tante Mayang tampak sangat khawatir. Wajahnya penuh dengan cemas dan matanya terlihat kurang tidur. "Sayang, semalaman Tante memikirkan keberadaan kamu," katanya dengan suara lembut namun penuh kekhawatiran.
Atte hanya bisa menunduk, merasa sedikit bersalah telah membuat Tante Mayang khawatir. "Untung saja Faza memberitahu Tante bahwa kamu sedang berada di kosannya," lanjut Tante Mayang, matanya sedikit melembut. "Jadi Tante sedikit lega."
Atte mengangguk pelan, merasakan kehangatan dari perhatian Tante Mayang. Meskipun sempat membuatnya cemas, Atte merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu peduli.
Sementara itu, Wulan masih fokus pada sinetron yang diputar di televisi. Ia membiarkan Atte makan bersama Tante Mayang, adiknya. Dalam hatinya, Wulan merasa iri melihat kebersamaan dan keakraban antara anaknya dan adiknya. Namun, di balik rasa irinya, Wulan juga merasa senang. Ia tahu bahwa Tante Mayang sangat menyayangi Atte dengan penuh kasih sayang.
Wulan tersenyum tipis, matanya masih terpaku pada layar televisi, tapi pikirannya melayang ke arah meja makan di mana Atte dan Mayang tengah menikmati makanan bersama. Meskipun ada jarak yang terbentang antara dirinya dan Atte, Wulan merasa lega bahwa Atte masih dikelilingi oleh cinta dan perhatian dari orang-orang terdekatnya.
Setelah selesai makan, Atte bergegas ke kamarnya. Ia ingin segera membersihkan diri setelah seharian beraktivitas di luar. Langkahnya cepat, menunjukkan betapa ia ingin segera merasa segar kembali. Di kamarnya yang rapi, Atte mengambil handuk dan perlengkapan mandi, siap untuk membersihkan diri dan menghilangkan lelah.
Mayang berdiri di depan pintu kamar kakaknya, Wulan, dengan raut wajah serius. Dia tahu ini bukanlah hal yang mudah, tapi sesuatu harus dilakukan untuk memperbaiki hubungan mereka dengan Atte.
"Mba Wulan, kita sudah sampai pada titik di mana kita tidak bisa terus mengabaikan masalah ini," kata Mayang dengan suara lembut namun tegas. "Aku rasa sudah saatnya mba mencoba membujuk Atte dan meminta maaf kepadanya. Dia butuh mendengar langsung dari mba bahwa mba menyesali semuanya."
Wulan menghela napas panjang, merasakan beratnya tanggung jawab yang akan diembannya. Dia mengangguk perlahan, mencoba mengumpulkan keberanian yang dibutuhkan.
"Baiklah, Mayang. Aku akan mencobanya," jawab Wulan. Dengan langkah hati-hati, dia menuju kamar Atte.
Atte baru saja keluar dari kamar mandi, menggerai rambutnya yang masih basah. Dia berdiri di depan cermin, memeriksa wajahnya dengan teliti. Setelah meraih botol pelembab dari meja, dia mengoleskan krim itu dengan gerakan yang teratur, memastikan kulitnya tetap terawat.